Refleksi HARDIKNAS 2025: Menjaga Integritas Pendidikan Nasional
- Penulis : M. Ulil Albab
- Jumat, 02 Mei 2025 10:00 WIB

Sikap hidup, sebagaimana didefinisikan oleh Alex Lanur (2019), adalah kecenderungan batin yang menetap dan secara konsisten mengarahkan seseorang untuk memilih kebaikan dalam berbagai situasi kehidupan. Proses pembentukannya berlangsung secara bertahap melalui internalisasi nilai, refleksi, dan praktik berulang hingga menjadi otomatis dan mendarah daging.
Senada dengan itu, Zygmunt Bauman (dalam Simbolon, Pormadi 2024) menekankan bahwa akar dari sikap moral individu terletak pada hati nurani, bukan pada paksaan eksternal semata. Pierre Bourdieu dengan konsep habitus-nya juga menyoroti bagaimana struktur sosial dan pengalaman internal membentuk disposisi dan kecenderungan perilaku individu.
Dominannya pendekatan pengajaran yang hanya berfokus pada transfer pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pemahaman hidup, tanpa diiringi pembinaan sikap hidup yang mendalam dan berkelanjutan, menjadi salah satu akar permasalahan perilaku-perilaku tidak terpuji yang seringkali kita saksikan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: KBRI Astana Tingkatkan Citra Indonesia di Kazakhstan Lewat Diplomasi Pendidikan, Sosial Budaya
Perbedaan mendasar antara mendidik dan mengajar dapat diilustrasikan melalui analogi sederhana menanam pohon. Mengajar dapat diibaratkan dengan memberikan air, pupuk, dan memastikan pohon mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhannya secara fisik. Fokusnya adalah pada pemenuhan kebutuhan fisik dan perkembangan biologis pohon.
Sementara itu, mendidik adalah upaya yang lebih komprehensif, yaitu memastikan pohon tersebut tumbuh menjadi pohon yang kuat, berakar kokoh, tidak mudah tumbang oleh terpaan angin, dan pada akhirnya menghasilkan buah yang lebat dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Fokusnya adalah pada pembentukan karakter, ketahanan, dan kualitas jangka panjang pohon tersebut.
Oleh karena itu, manusia tidak cukup hanya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi mutlak perlu dididik agar memiliki karakter kepribadian yang kuat dan sikap hidup yang kokoh.
Baca Juga: Duh, Ada Dugaan Korupsi Dana Hibah Pendidikan Anak Usia Dini Rp6 Miliar di Papua Selatan
Tanpa sikap hidup yang baik dan tepat, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bahkan dapat merugikan orang lain dan lingkungan sekitar.
Sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai luhur dan akhlak mulia menjadi urgensi utama dalam mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam praktik nyata.
Pendidikan yang belum menyentuh pembinaan sikap hidup yang baik dan tepat adalah pendidikan yang belum selesai, bahkan dapat dikatakan sebagai pendidikan yang kehilangan ruhnya, sekadar pengajaran tanpa esensi mendidik yang sesungguhnya.
Baca Juga: UNRWA Buka 130 Pusat Pendidikan Darurat di Gaza untuk Tempat Belajar 47.000 Anak
Oleh Pormadi Simbolon, alumnus magister ilmu Filsafat STF Driyarkara, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten.***