DECEMBER 9, 2022
Kolom

Refleksi HARDIKNAS 2025: Menjaga Integritas Pendidikan Nasional

image
Ilustrasi. Konsep luhur warisan Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani. (antaranews.com)

Pertanyaan-pertanyaan filosofis mendasar kembali mengemuka: Apakah hakikat pendidikan yang sesungguhnya? Apa tujuan mulia yang ingin kita capai melalui pendidikan? Dan yang paling mendasar, apakah institusi pendidikan kita saat ini lebih berfungsi sebagai sekadar "lembaga pengajaran" ataukah telah menjelma menjadi "lembaga pendidikan" yang sesungguhnya?

Kembali pada khazanah pemikiran pendidikan

Para pemikir klasik telah mewariskan perspektif mendalam tentang esensi pendidikan. Plato (428-348 SM) meyakini bahwa pendidikan adalah proses holistik yang bertujuan untuk mengembangkan karakter dan kecerdasan individu secara seimbang, menghantarkannya pada pemahaman tentang kebaikan dan kebenaran. Ia menekankan harmoni antara perkembangan fisik, intelektual, dan moral sebagai fondasi utama.

Baca Juga: KBRI Astana Tingkatkan Citra Indonesia di Kazakhstan Lewat Diplomasi Pendidikan, Sosial Budaya

Di sisi lain, Aristoteles (384-322 SM), murid setia Plato, berpandangan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah mencapai eudaimonia, atau kehidupan yang sejahtera dan bermakna, melalui pengembangan akal budi dan kebajikan. Baginya, pendidikan harus relevan dengan realitas kehidupan, memantik potensi unik setiap individu menuju aktualisasi diri, serta menanamkan kebajikan moral melalui pembiasaan yang konsisten.

Dari khazanah pemikiran lokal, Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) dengan gemilang merumuskan bahwa pendidikan harus memerdekakan, berpusat pada peserta didik, dan selaras dengan akar kebudayaan bangsa.

Konsep-konsep luhur seperti among (memimpin, mengasuh, dan membimbing dengan kasih sayang), tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan), dan ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan semangat) menjadi landasan filosofis yang tak lekang oleh waktu (dalam Kenji Tsuchiya, 1988).

Baca Juga: Duh, Ada Dugaan Korupsi Dana Hibah Pendidikan Anak Usia Dini Rp6 Miliar di Papua Selatan

Sungguh relevan pemikiran para tokoh ini dengan konteks pendidikan kita. Bahkan, hakikat pendidikan yang ideal telah terakomodasi dalam regulasi formal negara.

Disparitas regulasi dan realitas lapangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh, mencakup kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Baca Juga: UNRWA Buka 130 Pusat Pendidikan Darurat di Gaza untuk Tempat Belajar 47.000 Anak

Lebih lanjut, Pasal 3 dengan tegas menggarisbawahi fungsi pendidikan nasional dalam membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, dengan tujuan menghasilkan insan Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Halaman:

Berita Terkait