DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Sejarah Surat Cinta bagi yang Telah Tiada

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Ribuan tahun kemudian, di India, Shah Jahan merasakan pedih kehilangan istrinya, Mumtaz Mahal. Lalu ia membangun Taj Mahal. Ini sebuah puisi marmer tentang cinta dan kematian.

Di sana, cinta bukan lagi pelukan atau kata-kata manis. Tapi dalam ukiran kaligrafi Al Qur’an di dinding putihnya, dalam simetri taman surgawi, ia menyuratkan pesan: “Kekasihku, istirahatlah dalam damai. Doaku akan menjagamu.”

Piramida dan Taj Mahal adalah surat cinta yang dibangun dengan batu, yang bicara lebih nyaring daripada kata. Tapi tak semua dari kita punya kuasa membangun monumen raksasa.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama yang Berdampingan dengan Positive Psychology dan Neuroscience

Maka dalam peradaban kita, terutama di Nusantara, kita membangun surat cinta dari lafaz dan doa: tahlilan.

-000-

Dalam setiap helaan napas “La ilaha illallah”, dalam setiap lantunan surat Yasin dan Al-Fatihah, terkandung rindu yang tak tersampaikan. Tahlilan bukan hanya serangkaian doa dan bacaan. Ia adalah ekspresi paling halus dari kasih yang tak ingin berakhir.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence

Ia lahir dari kebutuhan manusia yang enggan menerima bahwa kematian memutuskan segalanya. Ia adalah bisikan lirih dari anak yang kehilangan ayah dan ibu.

Ia juga rindu dari istri yang ditinggal suami atau sebaliknya, dari cucu yang tak sempat mencium kening neneknya untuk terakhir kali.

Atau kita kehilangan keluarga kakak beradik, sahabat dan tokoh yang kita hormati dan cintai, murid yang berdedikasi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

Dalam hidup, cinta tumbuh di antara hubungan manusia. Dan kematian tak hendak dijadikan akhir hubungan itu.

Halaman:

Berita Terkait