Efisiensi Anggaran, Transparansi dan Komunikasi
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Rabu, 19 Februari 2025 12:13 WIB

Saya sendiri pernah melansir, adanya fakta di sebuah kementerian --tidak perlu saya sebut, meskipun sudah pernah diberitakan juga di sejumlah media. Ada pos belanja Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang mencapai angka 287 miliar rupiah. Hampir setara dengan belanja pembangunan APBD Kabupaten Mukomuko selama satu tahun, yang hanya sebesar 359 miliar rupiah (data tahun 2020).
Inilah yang kemudian memicu perasaan ketidakadilan fiskal bagi masyarakat di daerah. Di mana APBN terdistribusi untuk Pemerintah Pusat sekitar 64 persen, sementara Pemerintah Daerah sekitar 36 persen. Dengan Proporsi Beban Jumlah Pegawai yang ditanggung Pemerintah Daerah sebesar 78 persen, sedangkan Pemerintah Pusat hanya 22 persen.
Jadi transparansi terhadap latar belakang efisiensi anggaran ini harus dibuka ke rakyat sebagai pembayar pajak. Memang akan sedikit mencoreng muka sendiri. Bahwa banyak kegiatan yang sebenarnya bisa dihilangkan. Terutama kegiatan yang tidak secara langsung dirasakan masyarakat. Apalagi ditambah fakta kebocoran di mana-mana.
Baca Juga: Bandara Soekarno-Hatta Pindahkan Layanan Lokasi Transportasi Darat di Terminal 1 untuk Efisiensi
Harus dibuka. Bukankah Presiden Prabowo ingin memastikan kebocoran anggaran belanja dihilangkan? Soal sedikit mencoreng muka kementerian/lembaga ya tidak apa-apa, kan yang penting hasilnya.
Bukankah Bappenas dan kementerian punya tolok ukur outcome dari penggunaan anggaran? Ukur dan buka saja. Apa outcome dari rakor, kajian, bimtek, konsolidasi, konsinyering dan lain-lain itu terhadap pembangunan?
Belum lagi jika kegiatan itu digelar di ballroom-ballroom hotel bintang lima yang gedungnya dimiliki perorangan dan manajemennya dikelolakan kepada group manajemen hotel milik asing. Kemana uang yang dibelanjakan di hotel itu
Komunikasi
Faktor yang tidak kalah penting adalah komunikasi yang memastikan bahwa pesan tersampaikan secara utuh. Di mana paling krusial adalah belanja yang langsung ke masyarakat atau pelayanan publik tidak dihapus. Ini penting. Sehingga tidak terjadi salah tangkap dan salah informasi.
Misalnya, efisensi anggaran di Kementerian Pendidikan. Di masyarakat beredar informasi bahwa efisiensi menyasar belanja pelayanan Pendidikan. Padahal yang diefisiensikan adalah kegiatan-kegiatan yang berada di template ‘lama’ yang isinya itu ke itu saja dari tahun ke tahun. Dan tidak ada hubungannya dengan belanja Pendidikan langsung ke sekolah atau kampus.
Pemerintah seharusnya memiliki saluran komunikasi yang paling efektif. Karena itu sudah seharusnya mampu menjelaskan secara detail apa yang dirancang. Apa latar belakangnya, dan bagaimana aksi atau langkahnya. Serta tujuan akhirnya akan dirasakan kapan. Sehingga rakyat punya hope dan tidak terombang-ambing dengan informasi yang simpang siur.