DECEMBER 9, 2022
Internasional

Afrika Selatan Khawatir akan Propaganda dan Misinformasi AS tentang UU Tanah dan Gugatan Genosida

image
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa (Foto: ANTARA)

Afrika Selatan menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan setiap kesalahpahaman atau perselisihan melalui jalur diplomasi.

Namun, Pretoria juga menyatakan keprihatinan terhadap dasar perintah eksekutif AS yang dianggap “tidak akurat secara faktual dan gagal mengakui sejarah panjang serta menyakitkan Afrika Selatan yang dipenuhi kolonialisme dan apartheid.”

Undang-undang perampasan tanah yang baru bertujuan untuk mengatasi ketidakadilan di masa apartheid dan memungkinkan pengambilalihan lahan tanpa kompensasi dalam kondisi yang dianggap "adil, layak, dan demi kepentingan publik."

Baca Juga: Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa Serukan Penyebaran Vaksin untuk Lawan Mpox di Afrika

Masalah kepemilikan lahan menjadi isu sensitif di Afrika Selatan, di mana sebagian besar sumber daya alam masih dikuasai oleh segelintir orang kulit putih. Selama era apartheid, kebijakan rasial yang diskriminatif mengusir paksa penduduk kulit hitam dan non-kulit putih dari tanah mereka.

Meskipun apartheid telah berakhir, hingga kini mayoritas lahan pertanian komersial di negara tersebut masih dimiliki oleh orang kulit putih, terutama keturunan Afrikaner dari pemukim Belanda.

Presiden Afsel Cyril Ramaphosa berharap undang-undang perampasan lahan ini dapat membantu mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah yang berasal dari pemukiman kolonial dan kebijakan segregasi rasial yang diterapkan selama pemerintahan minoritas kulit putih.

Baca Juga: Afrika Selatan Akan Serahkan Bukti Forensik Genosida oleh Israel di Gaza ke Mahkamah Internasional

Perlu dicatat bahwa Afrika Selatan adalah negara pertama yang membawa Israel ke ICJ atas perang genosida yang dilancarkannya di Gaza.

Konflik tersebut berhenti bulan lalu setelah gencatan senjata antara Israel dan kelompok perjuangan Palestina, Hamas, mulai berlaku. Lebih dari 46.000 orang telah tewas di Gaza akibat serangan udara Israel sejak 7 Oktober 2023.***

Halaman:

Berita Terkait