DECEMBER 9, 2022
Puisi

Puisi Esai Denny JA: Sang Pemula, Serikat Dagang Islam

image
Ilustrasi (Istimewa)

Puisi Esai Seri "Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka" (2)

ORBITINDONESIA.COM - Surakarta, 1905. Di tengah ketidakadilan, seorang pedagang batik berjuang, dari sekadar melindungi bisnis, hingga menyulut kobaran api kemerdekaan. 1

-000-

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Bom itu Meledak di Satu Sahur, di Bulan Puasa, di Gaza

Di sudut pasar yang sesak,

Anwar berdiri,

seorang pedagang Muslim,

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Kabarkan Kisah Bunga yang Dipanah

menata hidup dari dagangan yang merugi.

Perlakuan penjajah adalah hujan asam,

membasahi pasar yang seharusnya hijau.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Anakku Kecanduan Internet

Namun, pohon pribumi dibiarkan layu,

akarnya direnggut, batangnya dipatahkan,

dan daun-daunnya dijadikan abu.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ambillah Ginjal Ibu, Anakku

Anaknya menangis malam itu,

rintihannya bagai seruling bambu yang patah, merobek sunyi malam.

Perut kosongnya adalah jurang yang menganga,

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Annie, Warga Non-Kristen juga Merayakan Natal

sebuah pertanyaan yang tak bisa dijawab,

apalagi oleh usia yang belia.

“Kami terpecah,

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Salman Berjumpa Tunawisma di London

menjadi serpihan kaca berserakan.”

“Bukan hanya dagangan dirampas,

tapi juga mimpi-mimpi kami.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Sebagai Imigran, Ia Masih Luka

Jiwa pedagang pribumi,

kini merunduk dalam bayang-bayang pasar sendiri.”

Air mata Anwar menjadi api.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Anak Palestina Itu Menulis Surat untuk Ibunya yang Hilang

Di dalam api itu, Samanhudi mendengar suara,

memanggilnya,

agar membela mereka,

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Dan Lahirlah Budi Utomo

yang tak lagi mampu bicara.

Samanhudi melihat dirinya,

terpantul di wajah pedagang kecil yang layu.

-000-

Di antara kain batik yang terjajar, ia duduk sendiri,

Haji Samanhudi, pedagang yang kini mendengar bangsanya memanggil.

Di balik kain batik yang terbentang, tersimpan denyut jantung bangsa.

Batik bukan sekadar benang dan warna,

tapi denyut nadi perih, harapan yang membara.

Di setiap helai terajut, terpatri mimpi merdeka,

dari pasar yang terinjak, hingga jiwa yang tak pernah menyerah.

Haji Samanhudi, terlahir kembali.

Ia bukan lagi sekadar nama, tapi nyala api perjuangan yang tak pernah padam.

Tangannya menggenggam kain batik,

namun hatinya menggenggam sesuatu yang lebih besar,

keadilan yang terasa asing di tanahnya sendiri.

Suara itu bergemuruh keras sekali,

bertalu-talu di batinnya.

“Islam adalah persaudaraan, Pribumi adalah benteng.”

Ia mendirikan Sarekat Dagang Islam,

mengundang para pedagang Muslim untuk bersatu.

“Jika kita tidak melindungi sesama, siapa lagi?”

Suara pedagang kecil bisa berubah,

menjadi suara rakyat yang tak lagi diam.

Di bawah panji Sarekat Dagang Islam,

pedagang pribumi bersatu menjadi anyaman batik yang kuat.

Anggotanya menjangkau ratusan ribu jiwa,

menggetarkan pasar hingga politik,

menyulam jaringan dari kota ke desa.

Tak lagi sendiri, mereka tegak berdiri,

menantang penjajahan dengan langkah pasti.

-000-

Namun, perjuangan ekonomi tak cukup memuaskan hati.

Di sela malam yang sunyi, ia terjaga,

menyadari ketidakadilan bukan sekadar angka di pasar.

Di luar pasar,

bangsa ini juga disedot perlahan.

Lintah besar bernama penjajah,

bertahta di langit,

menghisapnya siang dan malam.

Dan pribumi?

Mereka tubuh lemah,

terkulai di tanahnya sendiri.

Ekonomi adalah perahu rapuh,

koyak di tengah badai penjajahan,

yang semakin mengamuk,

semakin kemaruk.

“Apa gunanya layar yang kokoh, jika angin politik kolonial

selalu menyeret kita ke palung lautan yang dalam?”

Anwar selalu di sana,

di samping Haji Samanhudi.

Di atas tanah yang terbelenggu,

bagi Anwar, nyala ini tak cukup mengusir kelam.

Kita butuh angin dari samudra,

gelombang besar yang membawa harapan,

dan mengguncang dasar takhta penjajah.

Samanhudi juga menyadari:

“Lidahku tak cukup panjang menjangkau hati rakyat yang terluka.

Aku hanyalah akar yang memeluk bumi, menahan beban nestapa.

Serikat Dagang Islam menjelma Serikat Islam.

Ia, pedagang, memilih mundur dari panggung.

Zaman memanggil orator,

yang mampu mengguncang gunung,

yang mampu membelah samudra dengan kata-kata.2

Ia, Haji Samanhudi, memilih langkah sunyi,

menyisihkan diri dari panggung.

Meski redup dari sorotan,

Haji Samanhudi adalah bara pertama.

Ia terus menyala dalam jiwa bangsa.

Ia, Sang Pemula.

Jejaknya tak lekang oleh waktu.

 

Jakarta, 20 Januari 2025 ***

 

CATATAN:

1. Puisi esai ini diinspirasi kisah Haji Samanhudi

2. Perlahan tapi pasti, kepemimpin Serikat Islam diserahkan kepada HOS Tjokroaminoto

Halaman:

Berita Terkait