DECEMBER 9, 2022
Kolom

Bali Seratus Tahun Nanti, Catatan Paradoks

image
Pemandangan Bali (Foto: Wira Water Sport)

Oleh Wayan Suyadnya*

ORBITINDONESIA.COM - Bali, sang Pulau Dewata, lambang keindahan dan harmoni, kini berada di persimpangan takdir. Sebuah dunia paradoks terbentang di sana—di mana keindahan yang memukau justru menghadirkan tantangan yang kian rumit. 

Pulau kecil ini, yang telah lama menjadi magnet bagi manusia dari seluruh penjuru dunia, kini perlahan mengecil akibat abrasi pantai dan naiknya permukaan air laut sebagai dampak pemanasan global.

Baca Juga: Walikota Jaya Negara: Denpasar Festival Jadi Hub Industri Kreatif untuk Pertumbuhan Ekonomi Lokal

Di daratan, ironi mencolok terpampang nyata. Sawah-sawah yang dulu hijau membentang berubah menjadi hamparan beton: perumahan mewah, hotel megah, vila eksklusif, lapangan golf, hingga jalan-jalan besar. Hutan-hutan yang dulu menjaga keseimbangan kini tersingkir, disulap menjadi fasilitas pariwisata demi memenuhi tuntutan industri yang terus melaju. 

Bali bak sepotong gula, manis menggoda, menarik semut dari segala penjuru—penduduk pendatang, wisatawan domestik, hingga pelancong asing.

Penduduk Bali terus memadat. Di Pecatu, misalnya, bukit-bukit kapur yang dulu tandus kini berubah menjadi kawasan pemukiman yang ramai. 

Baca Juga: Eks Pemain Bali United Asal Brasil Eber Bessa Berlabuh di Persita Tangerang

Namun, kemajuan ini menyimpan paradoks yang menyakitkan: jumlah penduduk bertambah, kebutuhan air meningkat, tetapi daya dukung alam tetap sama. 

Tanah Bali yang dulu subur kini terkunci dalam lapisan beton, paving block, dan aspal. Air hujan yang jatuh tak lagi menyerap ke tanah, melainkan terbuang sia-sia ke laut.

Setiap tahun, sekitar 1.000 hektar sawah hilang, digantikan oleh bangunan yang megah namun lupa akan harmoni dengan alam. Tri Hita Karana hanya slogan dalam praktek kapling-mengapling untuk pemukiman baru.

Baca Juga: Apa Kabar, 10 Bali Baru?

Lahan yang hilang berarti berkurangnya daerah resapan air, memperparah krisis air bersih yang semakin menggigit. 

Dalam paradoks ini, Bali seakan dihadapkan pada pilihan yang tak mungkin: terus berkembang demi memenuhi tuntutan pariwisata, atau berhenti dan menjaga keseimbangan alamnya yang rapuh.

Pertanyaan besar pun menghantui kita: sampai kapan Bali bisa bertahan? 

Baca Juga: Wayan Koster dan Giri Prasta Susun Rencana Aksi di Bali Sambil Tunggu Pelantikan yang Diundur

Pulau ini kini tidak hanya menjadi simbol keindahan, tetapi juga sebuah peringatan. Dalam paradoks ini, Bali mengajarkan kita bahwa kemajuan tanpa harmoni adalah jalan menuju kehancuran.

Jika Bali terus kehilangan dirinya, maka ia hanya akan menjadi bayangan dari kemegahannya yang dulu— paradoks yang abadi, indah namun rapuh, megah namun runtuh. Akankah kita belajar dari kisah ini, atau membiarkannya berlalu tanpa arti?

Maka berpikir Bali seratus tahun ke depan, penting sejak sekarang, ya sejak sekarang di tahun 2025 ini,  sebab pergeseran masyarakatnya dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri akan terjadi dan terus terjadi, dan itu dipastikan membawa nilai-nilai.

Baca Juga: Erick Thohir Bertemu Pengusaha Bahas Destinasi Wisata Kesehatan di Sanur Bali

Ingatlah, tanah Bali, manusia Bali dan budaya (agama) Bali satu kesatuan yang utuh. 

Denpasar, 11 Januari 2025

*Wayan Suyadnya adalah penulis SATUPENA, tinggal di Bali. ***

Halaman:

Berita Terkait