Oleh Albertus M. Patty*
ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah kota, sebuah sekolah yang dikelola oleh yayasan Kristen mengajukan proposal bantuan pembangunan kepada pemerintah daerah. Semua persyaratan telah dipenuhi, dan bantuan sebesar satu miliar rupiah disetujui. Namun, salah satu pejabat meminta "potongan 10 persen" sebagai biaya administrasi. Akhirnya, hanya 900 juta rupiah yang diterima oleh sekolah.
Di sisi lain, seorang pengusaha konstruksi yang mengikuti tender renovasi gedung sekolah, yang dikelola yayasan berbasis Kristen, merasa yakin akan menang tender karena tawarannya lebih murah dan spesifikasi yang dia tawarkan lebih unggul. Namun, seorang pengurus yayasan mendekatinya dan meminta "fee 10 persen" sebagai prasyarat baginya untuk memenangkan tender.
Baca Juga: DKI Jakarta Benarkan Terpidana Korupsi Timah Harvey Moeis dan Sandra Dewi Peserta PBI BPJS Kesehatan
Kedua kasus ini hanyalah sebagian kecil dari realitas yang menunjukkan bahwa virus korupsi telah bergentayangan bukan saja di lembaga pemerintah, tetapi juga di lembaga agama, termasuk lembaga Kristen. Institusi pendidikan berbasis keagamaan yang seharusnya menjadi teladan malah mencerminkan sifat duniawi yang gelap.
Bayangan Gelap
Dalam buku The Dark Side of Christian Leadership karya Gary L. McIntosh, secara khusus menyoroti lembaga-lembaga Kristen. Menurutnya, situasi seperti ini sering kali muncul dari "bayangan gelap" para pemimpin yang gagal mengelola godaan kekuasaan dan uang. Dan para pemimpin seperti ini biasanya memiliki ciri yang sama yaitu, mereka akan mati-matian mempertahankan dan memperkuat posisi dan 'kekuasaan'nya.
Baca Juga: Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta Iwan Henry Wardhana Jadi Tersangka Korupsi
McIntosh menggambarkan ini seperti api kecil yang dibiarkan menyala di sudut ruangan—lama-lama, api itu dapat membakar seluruh bangunan. Tanpa sistem pengawasan yang kuat, godaan untuk melakukan korupsi, suap, fraud, dan sebagainya akan merusak karakter pemimpin. Ingat, orang jujur dalam sistem yang rusak akan tergoda menjadi rusak. Sebaliknya, orang yang 'rusak' dalam sistem pengawasan yang bagus dipaksa menjadi orang baik.
Ilustrasinya sederhana: bayangkan sebuah perahu yang bocor kecil. Jika tidak segera diperbaiki, air akan terus masuk hingga akhirnya menenggelamkan perahu. Begitu juga dengan integritas pemimpin yang retak—tanpa langkah koreksi, kehancuran akan meluas.
McIntosh menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas untuk mengatasi sisi gelap ini. Ia menyarankan audit independen dan pelatihan etika untuk memastikan pemimpin tetap setia pada panggilan pelayanan.
Baca Juga: Mahkamah Agung: Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi Harus Nyata, Bukan Potensi
Institusi berbasiskan nilai Kristiani, menurutnya seharusnya menjadi terang, bukan bayangan gelap yang merusak kepercayaan jemaat dan publik secara umum. Untuk itu, perlu reformasi sistem pengawasan yang ketat dan budaya integritas yang terjaga.
Jangan bersikap 'take for granted' bahwa lembaga keagamaan pasti bersih. Semua lembaga apa pun, termasuk lembaga agama, punya potensi mempraktekkan korupsi dan manipulasi. Semua profesi, termasuk pemimpin agama atau profesor, bisa terjebak pada praktek suap.
Hanya dengan langkah ini, berbagai lembaga yang dikelola dengan prinsip Kekristenan, baik gereja maupun lembaga pendidikan, dapat kembali menjadi pelopor dan teladan integritas dan kejujuran.
Keteladanan dalam kejujuran itu penting, terutama di tengah bangsa yang, konon, sebagian besar pejabatnya telah hanyut terseret dalam gelombang tsunami korupsi.
Bandung, 19 Des. 2024 ***