Pilpres Amerika Serikat, Pakar: Donald Trump Kalah Tenang, Bikin Kamala Harris Unggul Dalam Debat
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Kamis, 12 September 2024 11:27 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Ketidaktenangan yang ditunjukkan calon presiden dari Partai Republik Amerika Serikat, Donald Trump, berpotensi memberi keunggulan pada saingannya dari Partai Demokrat AS, Kamala Harris, kata para pakar kepada Sputnik.
Direktur Independent Institute Center on Peace and Liberty Ivan Eland meyakini Kamala Harris mengalahkan Donald Trump dalam gaya berdebat dan penguasaan isu-isu kebijakan.
Kinerja Kamala Harris, tambah Eland, mungkin cukup baik untuk mendapatkan dukungan yang dia butuhkan untuk memenangkan Pilpres AS dan mengalahkan Donald Trump.
"Lebih dari seperempat pemilih mengatakan bahwa mereka perlu mengetahui lebih banyak tentang Harris. Dalam hal ini, saya pikir Harris mungkin akan memperoleh cukup suara untuk menang," kata Eland.
Redaktur Pelaksana Majalah Covert Action dan komentator politik Jeremy Kuzmarov berpendapat bahwa kegagalan Trump mengendalikan emosinya mungkin akan membuat dia kalah dalam debat pilpres di mata sebagian pemilih yang belum menentukan pilihannya.
"Dalam penilaian saya, Harris mungkin yang paling diuntungkan karena Trump terkadang tampak marah dan melontarkan klaim menggelikan seperti bahwa imigran memakan anjing di Springfield Ohio," katanya.
Baca Juga: Presiden Vladimir Putin Nyatakan Rusia Dukung Kamala Harris pada Pilpres AS 2024
Trump juga dinilai berlebihan dalam mengulas tema imigrasi ilegal, serta secara keliru mengklaim Harris adalah seorang Marxis, menurut pandangan Kuzmarov.
Sejarawan konstitusi AS Dan Lazare berpendapat debat tersebut berakhir seri, namun Lazare mengakui bahwa Harris unggul dalam sejumlah hal dengan segera membalas tuduhan Trump.
“Pada akhirnya, dia (Harris) bersemangat, menggelengkan kepalanya mendengar berbagai pernyataan Trump, membalas dengan kekuatan penuh, dan mencetak lebih banyak poin,” kata Lazare.
Harris, pada bagiannya, memang mengungkap beberapa kelemahannya, termasuk sikapnya yang lebih pro-perang, kebijakan yang mirip dengan Biden, dan rendahnya ketersediaan energi, kata para pakar.