DECEMBER 9, 2022
Kolom

HM Amir Uskara: Quo Vadis Ekonomi Indonesia. What Next?

image
Dr. HM Amir Uskara (Foto: Emedia DPR RI)

Semua ini menandakan bahwa pemerintah tampaknya kurang "kajian ekonomi yang komprehensif" dalam menata pembangunan infrastruktur. Akibatnya, alih-alih dunia internasional mengapresiasi pembangunan infrastruktur, yang terjadi adalah menyorot utang Indonesia yang terus membengkak akibat pembangunan infrastruktur yang masif tersebut. 

Saat ini, utang Indonesia per-April 2024 sudah mencapai jumlah Rp 8.338.43 triliun. Meski utang sudah segunung, pemerintah tetap merasa aman. Alasannya, rasio utang pemerintah tadi masih setara 38,71 persen dari produk domestik bruto (PDB). UU Nomor 17/2003 menetapkan porsi atau rasio utang maksimal  dari PDB adalah 60 persen. Berdasarkan UU tadi, utang pemerintah sekarang masih dianggap aman. Karena baru 38,71 persen.

Pertanyaan yang kini mencuat (seperti ditulis Muhammad Andri Perdana, peneliti Center for Reform on Economics di harian Kompas 27 Juli 2924), apakah rasio utang 38,71 persen itu  bisa menjadi indikator amannya kondisi keuangan negara?  

Baca Juga: Turis Asing yang Berkunjung ke Indonesia Naik 23,78 Persen, Nia Niscaya: Berdampak kepada Pertumbuhan Ekonomi

Ingat, tulis Muhammad Andri Perdana, pada akhir 1996, rasio utang Indonesia berada di level 23,9 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan saat ini. 

Kita tahu, pada 1997 yang berlanjut sampai tahun 1998, Indonesia jatuh ke dalam krisis ekonomi terparah dalam sejarah  pasca-Orde Lama. Krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi itu,  telah menjatuhkan rezim Orde Baru yang  berkuasa selama 32 tahun.

Sorotan dunia terhadap utang Indonesia yang kian membengkak dan kurs  rupiah yang terus merosot,  menjadi  persoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kenapa? Sorotan tersebut mengindikasikan kredibilitas perekonomian Indonesia di dunia internasional sedang tergerus. 

Baca Juga: Emiten Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bakal Tarik Investor, Nia Niscaya: Berdampak kepada Perekonomian

Ini bisa terlihat dari merosotnya nilai rupiah dari waktu ke waktu. Kurs rupiah terhadap dolar AS  (USD) dalam beberapa bulan terakhir, misalnya, sudah menyentuh angka "kritis" -- di atas Rp 16 ribu. Di bulan Juni, kurs tersebut mencapai Rp 16.300 perdolar. Nyaris menyamai kondisi krismon 1997. 

Perlu diketahui, saat Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997-1998, kurs perdolar mencapai Rp 16.650. Ini kurs USD tertinggi terhadap rupiah sepanjang sejarah Orde Baru. Apakah di Orde Reformasi, di era Jokowi, kondisi itu akan terjadi lagi? 

Saat ini, kurs USD terhadap rupiah sedang merangkak naik. Akankah kurs itu akan menembus angka seperti saat krismon 1997? Jawabnya, tergantung dari -- bagaimana pemerintah mengatasi kondisi memprihatinkan itu. 

Baca Juga: Suripno: Kebijakan Pelarangan Angkutan Logistik Saat Libur Besar Perlu Kajian Perhitungan Kerugian Ekonomi  

Dari perspektif inilah, pemerintah seharusnya berhati-hati. Pemerintahan Prabowo yang akan dimulai Oktober 2024  harus memikirkan hal ini secara serius. Jangan pernah berpikir, pemerintah akan menaikkan rasio utang dengan PDB sebesar 50 persen. Meski UU membolehkan, tapi sangat riskan bila melihat kondisi keuangan negara saat ini. 

Halaman:
1
2
3

Berita Terkait