DECEMBER 9, 2022
Kolom

HM Amir Uskara: Quo Vadis Ekonomi Indonesia. What Next?

image
Dr. HM Amir Uskara (Foto: Emedia DPR RI)

Oleh: Dr. HM Amir Uskara*

Kemana arah ekonomi Indonesia? Pertanyaan menarik mencuat dari podcast Tempo Ekonomi, Sabtu (27 Juli 2024) pekan lalu, bertema 10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Banyak Utang, Kemiskinan Tetap Tinggi. 

Vindry Florentin, wartawati Tempo, dalam podcast tersebut mempertanyakan -- kenapa pengangguran terus naik, padahal rezim Jokowi mengaku investasi di Indonesia terus bertambah? 

Baca Juga: Turis Asing yang Berkunjung ke Indonesia Naik 23,78 Persen, Nia Niscaya: Berdampak kepada Pertumbuhan Ekonomi

Logikanya, kata Vindry, jika investasi meningkat, niscaya lapangan kerja makin banyak. Pengangguran pun berkurang.

Faktanya, pengangguran terus membengkak. Di Asia Tenggara, Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi. Menurut  World Economic Outlook per April 2024, dari 279 juta penduduk Indonesia, 5,2 persen  (14.508.000 orang) menganggur. Bandingkan dengan Thailand (1,1 persen), Singapura (1,9 persen), Vietnam (3,5 persen), Malaysia (3,5 persen), Vietnam (4,9 persen), dan Filipina (5,1 persen). Lalu, kemana larinya investasi tersebut?

Bhima Yudistira, eksekutif direktur CELIOS (Center of Economic and Low Studies), nara sumber di Podcast tersebut, menyatakan -- tingginya pengangguran yang berlawanan dengan naiknya investasi karena alokasinya yang tidak tepat. Banyak investasi yang alokasinya tidak strategis, tidak mendukung perkembangan ekonomi.

Baca Juga: Emiten Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bakal Tarik Investor, Nia Niscaya: Berdampak kepada Perekonomian

Dalam pembangunan jalan tol yang jadi ikon legacy rezim Jokowi, misalnya, Indonesia meniru mentah-mentah dari "pengalaman" Tiongkok. Indonesia -- tidak seperti China -- membangun jalan tol tanpa kajian ekonomi strategis yang terkait dengan utilitas jalan bebas hambatan itu. Akibatnya, keberadaan jalan tol tidak linier dengan perkembangan ekonomi. 

Yang diperlukan Indonesia, kata Bhima, sebetulnya pengembangan jalan arteri yang besar dan tidak berbayar. Yang langsung berhubungan dengan kawasan-kawasan industri. Dengan demikian, utilitas jalan arteri tinggi dan mampu menggerakkan perekonomian secara signifikan. 

Masih banyak contoh lain, investasi yang tidak linier dengan pengembangan ekonomi. Seperti kereta cepat Whoosh dan bandara internasional Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. Dua pembangunan infrastruktur penting tersebut ternyata hanya membebani keuangan negara. 

Baca Juga: Suripno: Kebijakan Pelarangan Angkutan Logistik Saat Libur Besar Perlu Kajian Perhitungan Kerugian Ekonomi  

Pembangunan infrastruktur terutama jalan tol, bandara, dan pelabuhan laut yang terkesan jor-joran, ternyata tak linier dengan investasi yang masuk.  Yang paling malang, adalah investor "pendukung"  Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur -- ternyata nihil. Padahal Presiden Jokowi telah berupaya mengiklankannya ke seluruh penjuru dunia. 

Semua ini menandakan bahwa pemerintah tampaknya kurang "kajian ekonomi yang komprehensif" dalam menata pembangunan infrastruktur. Akibatnya, alih-alih dunia internasional mengapresiasi pembangunan infrastruktur, yang terjadi adalah menyorot utang Indonesia yang terus membengkak akibat pembangunan infrastruktur yang masif tersebut. 

Saat ini, utang Indonesia per-April 2024 sudah mencapai jumlah Rp 8.338.43 triliun. Meski utang sudah segunung, pemerintah tetap merasa aman. Alasannya, rasio utang pemerintah tadi masih setara 38,71 persen dari produk domestik bruto (PDB). UU Nomor 17/2003 menetapkan porsi atau rasio utang maksimal  dari PDB adalah 60 persen. Berdasarkan UU tadi, utang pemerintah sekarang masih dianggap aman. Karena baru 38,71 persen.

Baca Juga: Satrio Arismunandar: Ekstraktivisme Ciptakan Ketergantungan Ekonomi pada SDA yang Rentan Fluktuasi Harga Global

Pertanyaan yang kini mencuat (seperti ditulis Muhammad Andri Perdana, peneliti Center for Reform on Economics di harian Kompas 27 Juli 2924), apakah rasio utang 38,71 persen itu  bisa menjadi indikator amannya kondisi keuangan negara?  

Ingat, tulis Muhammad Andri Perdana, pada akhir 1996, rasio utang Indonesia berada di level 23,9 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan saat ini. 

Kita tahu, pada 1997 yang berlanjut sampai tahun 1998, Indonesia jatuh ke dalam krisis ekonomi terparah dalam sejarah  pasca-Orde Lama. Krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi itu,  telah menjatuhkan rezim Orde Baru yang  berkuasa selama 32 tahun.

Baca Juga: Kota Bima Nusa Tenggara Barat Gandeng ITS Surabaya Tingkatkan SDM dan Kembangkan Ekonomi Biru

Sorotan dunia terhadap utang Indonesia yang kian membengkak dan kurs  rupiah yang terus merosot,  menjadi  persoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kenapa? Sorotan tersebut mengindikasikan kredibilitas perekonomian Indonesia di dunia internasional sedang tergerus. 

Ini bisa terlihat dari merosotnya nilai rupiah dari waktu ke waktu. Kurs rupiah terhadap dolar AS  (USD) dalam beberapa bulan terakhir, misalnya, sudah menyentuh angka "kritis" -- di atas Rp 16 ribu. Di bulan Juni, kurs tersebut mencapai Rp 16.300 perdolar. Nyaris menyamai kondisi krismon 1997. 

Perlu diketahui, saat Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997-1998, kurs perdolar mencapai Rp 16.650. Ini kurs USD tertinggi terhadap rupiah sepanjang sejarah Orde Baru. Apakah di Orde Reformasi, di era Jokowi, kondisi itu akan terjadi lagi? 

Baca Juga: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto: Indonesia Bakal Tarik Kembali Industri Semikondutor dari Malaysia

Saat ini, kurs USD terhadap rupiah sedang merangkak naik. Akankah kurs itu akan menembus angka seperti saat krismon 1997? Jawabnya, tergantung dari -- bagaimana pemerintah mengatasi kondisi memprihatinkan itu. 

Dari perspektif inilah, pemerintah seharusnya berhati-hati. Pemerintahan Prabowo yang akan dimulai Oktober 2024  harus memikirkan hal ini secara serius. Jangan pernah berpikir, pemerintah akan menaikkan rasio utang dengan PDB sebesar 50 persen. Meski UU membolehkan, tapi sangat riskan bila melihat kondisi keuangan negara saat ini. 

Buktinya  ketika isu rasio utang/PDB 50 persen mencuat di ranah publik, 14 Juni 2024, nilai tukar rupiah langsung anjlok menembus level Rp 16.400 per dollar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun  turun sampai  97 poin. 

Baca Juga: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Perkuat Kolaborasi, Atraksi, dan Amenitas di Destinasi Wisata

Fakta di atas  menunjukkan perekonomian  Indonesia sangat rentan terhadap isu utang. Untung isu tersebut segera ditepis Tim Transisi Prabowo Gibran. Sehingga "kegaduhan moneter" tadi tidak berkelanjutan.

So, quo vadis ekonomi Indonesia di ujung pemerintahan Jokowi. What next ekonomi Indonesia di era Prabowo? Wait and see! 

Semoga pemerintahan Prabowo  bisa memperbaiki kondisi utang yang mengkhawatirkan tersebut. Jangan sampai tragedi krismon 1997-1998 terulang.

Baca Juga: Presiden Jokowi: Proses Pembangunan IKN Berdampak Positif pada Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Sekitar

*Dr. HM Amir Uskara, ekonom/Ketua Fraksi PPP/Wakil Ketua MPR RI. ***

Berita Terkait