DECEMBER 9, 2022
Ekonomi Bisnis

Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja Sambut Baik Upaya Pemerintah Turunkan Biaya Industri Penerbangan

image
Arsip foto - Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja diwawancara awak media di Jakarta, Selasa, 2 Juli 2024. ANTARA/Harianto

ORBITINDONESIA.COM - Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA menyambut baik upaya pemerintah untuk menurunkan biaya-biaya dalam industri penerbangan nasional.

"Dengan penurunan biaya tersebut diharapkan maskapai mendapat margin keuntungan dari operasionalnya sehingga maskapai dapat menyelenggarakan operasional penerbangan dengan baik," kata Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja dalam keterangan di Jakarta, Rabu, 17 Juli 2024.

Denon menilai, dengan adanya upaya tersebut maka INACA dapat membantu pemerintah dalam mengembangkan konektivitas penerbangan nasional.

Baca Juga: INACA: Pengurangan Jumlah Bandara Internasional Akan Tingkatkan Konektivitas Transportasi Udara Nasional

INACA juga menyambut baik dibentuknya Satgas Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Namun agar komite ini berjalan efektif, yang harus menjadi perhatian adalah siapa saja anggotanya, apa kewenangannya, apa program kerjanya dan bagaimana menjalankannya.

Denon menyampaikan bahwa permasalahan yang melingkupi penerbangan nasional itu sangat kompleks dan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.

"Untuk itu komite tersebut harus benar-benar kuat baik secara legal maupun operasional serta melibatkan berbagai stakeholder penerbangan, sehingga kinerjanya baik dan benar,” ujar Denon.

Baca Juga: Informasi Penerbangan: Tujuh Bandara di Sekitar Wilayah Sulawesi Ditutup Sementara Akibat Erupsi Gunung Ruang

Menurut dia, saat ini biaya penerbangan sangat tinggi, melebihi tarif tiket yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak 2019. Akibatnya maskapai rugi dan mengoperasikan penerbangan untuk sekedar dapat hidup dan tidak dapat mengembangkan usahanya.

"Biaya tinggi yang berasal dari operasional maupun non operasional penerbangan harus dikurangi atau dihilangkan," katanya.

Ia mengungkapkan, biaya tinggi dari operasional penerbangan misalnya adalah harga avtur yang lebih tinggi dibanding negara tetangga, adanya antrean pesawat di darat untuk terbang dan di udara untuk mendarat yang berpotensi boros bahan bakar, biaya kebandarudaraan dan layanan navigasi penerbangan dan lain-lain.

Baca Juga: Garuda Indonesia Siapkan 34.858 Kursi Penerbangan untuk Layani Delegasi World Water Forum dari 141 Negara

Sedangkan biaya tinggi dari non operasional penerbangan misalnya adalah adanya berbagai pajak dan bea masuk yang diterapkan secara berganda.

"Saat ini pajak dikenakan mulai dari pajak untuk avtur, pajak dan bea untuk pesawat dan sparepart seperti bea masuk, PPh impor, PPN dan PPN BM spareparts, sampai dengan PPN untuk tiket pesawat. Dengan demikian terjadi pajak ganda. Padahal di negara lain pajak dan bea tersebut tidak ada,” kata Denon.

Dia juga mengatakan bahwa sebagian besar biaya penerbangan terpengaruh langsung maupun tidak langsung dari kurs dollar AS. Dengan demikian semakin kuat nilai dollar AS terhadap rupiah, maka biaya penerbangan akan ikut naik.

Baca Juga: Kemenag Protes Keras Garuda Indonesia Atas Penundaan Penerbangan Jamaah Calon Haji Kloter Solo 41

"Hal ini juga harus diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya bersama,” ujar Denon.

Selain itu, adanya biaya layanan kebandarudaraan bagi penumpang (Passenger Service Charge/ PSC) yang dimasukkan dalam komponen harga tiket juga membuat harga tiket pesawat terlihat lebih tinggi.

"Penumpang tidak mengetahui bahwa PSC itu bukan untuk maskapai tetapi untuk pengelola bandara. Namun karena berada dalam satu komponen, maka penumpang menganggap itu adalah bagian tiket pesawat dari maskapai,” ujar Denon.

Baca Juga: Kemenhub Berharap Uji Coba Taksi Terbang di IKN Tak Ganggu Ruang Udara Penerbangan Komersial

Lebih lanjut, INACA juga menyoroti iklim usaha penerbangan yang saat ini tidak sehat. Hal ini karena masih adanya monopoli dalam bisnis penerbangan sehingga terjadi pengaturan harga oleh satu pihak dan tidak terjadi persaingan usaha yang sehat.

Beberapa monopoli yang saat ini terjadi di antaranya monopoli penyedia avtur di bandara, monopoli pengelolaan bandara oleh pemerintah baik melalui BUMN maupun BLU dan UPBU Kementerian Perhubungan, serta monopoli operasional penerbangan dari maskapai atau grup maskapai tertentu.

"Agar tercipta iklim usaha dan persaingan usaha yang sehat, monopoli tersebut harus diminimalisir atau dihilangkan. Salah satu contoh meminimalisir monopoli operasional penerbangan adalah pengelolaan slot penerbangan yang lebih baik," kata Denon.

Baca Juga: Kementerian Perhubungan: Gangguan di Pusat Data Nasional Tak Berdampak pada Layanan Penerbangan

Pengelolaan slot harus berdasarkan azas keadilan bagi maskapai dan kekuatan pasar. Jarak waktu slot antar maskapai harus diperhatikan agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat.

Selain itu pula, pengelola slot harus menjalankan aturan dengan tegas sehingga maskapai mematuhi aturan yang berlaku. Slot yang tidak terpakai dalam jangka tertentu harus segera ditarik dan diisi oleh maskapai lain.

Namun demikian, pemerintah juga harus memperhatikan maskapai yang menerbangi virgin route, yaitu rute yang sebelumnya tidak ada penerbangan.

Baca Juga: Kementerian ESDM, Dirjen Eniya Listiani Dewi: Bioavtur Perlu Diakselerasi di Sektor Penerbangan

"Pemerintah harus memberikan proteksi pada maskapai yang pertama menerbanginya dalam jangka waktu tertentu dengan terus menerus mengevaluasi pasar penerbangan di daerah tersebut," katanya pula.

Penambahan penerbangan oleh maskapai lain baru bisa dilaksanakan bila pasarnya sudah kuat dan maskapai pertama sudah mendapatkan keuntungan.

"Dengan demikian terjadi persaingan bisnis yang sehat dan di sisi lain penumpang juga mendapatkan layanan yang lebih baik," kata Denon.***
 

Sumber: Antara

Berita Terkait