Kemenangan Partai Buruh di Pemilu Parlemen Akhiri 14 Tahun Era Konservatif di Inggris Raya
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 05 Juli 2024 15:25 WIB
Mengingat kondisi ketika Cameron terpilih, yaitu dampak dari Krisis Finansial Global 2007-2008 masih terasa sangat hangat, maka Konservatif memutuskan untuk melakukan program austerity atau pengetatan anggaran, dengan tujuan menyelamatkan defisit di APBN Inggris.
Artikel New York Times pada 2019 menyatakan, kebijakan pengetatan anggaran telah mengubah Inggris yang melakukan pemotongan besar-besaran dalam pos anggaran untuk kesejahteraan sosial luas masyarakat.
Meski pemerintah Inggris menyatakan bahwa NHS (seperti BPJS Kesehatan di Republik Indonesia) terlindungi dari pengetatan anggaran, pengetatan anggaran berdampak pada berkurangnya alokasi anggaran untuk sejumlah layanan penting sosial, seperti untuk kepolisian, pemeliharaan jalan, perpustakaan, hingga bantuan perumahan untuk warga lanjut usia.
Baca Juga: Ukraina Ketakutan, Setelah Tokoh Kesayangannya PM Inggris Boris Johnson Mengundurkan Diri
Menurut artikel tersebut, kajian yang dilakukan pakar PBB pada 2018 menyatakan upaya pemerintahan Konservatif untuk mengurangi pengeluaran anggaran ternyata malah meningkatkan tingkat kemiskinan serta menimbulkan berbagai kesengsaraan di salah satu negara terkaya di dunia itu.
Pemerintah Inggris ketika itu menyangkal temuan pakar PBB itu, tetapi sejumlah aspek menunjukkan turunnya kesejahteraan sosial dengan melakukan pengetatan anggaran, seperti meningkatnya warga yang menggunakan food bank atau bantuan pangan, serta naiknya angka kriminalitas di negara monarki tersebut.
Namun, degradasi kesejahteraan sosial itu akan semakin melesat dengan terjadinya Brexit, yaitu langkah Inggris Raya keluar sepenuhnya dari Uni Eropa.
Baca Juga: Rishi Sunak Terpilih Jadi PM Inggris Baru Gantikan Liz Truss yang Mundur
Cameron, dalam manifesto pemilu tahun 2016, berjanji untuk menggelar referendum apakah Inggris harus tetap menjadi anggota Uni Eropa atau tidak. Hasilnya, referendum pada 23 Juni 2016 menunjukkan hasil 52 persen pemilih mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa sehingga Cameron juga mengundurkan diri.
Para pakar ekonomi sebelum referendum telah mengeluarkan peringatan bahwa Brexit akan membuat perekonomian Inggris semakin terpuruk. Kajian pada 2019 juga menunjukkan tidak sedikit perusahaan Inggris lebih memilih membuat kantor di daratan Eropa serta perusahaan Eropa mengurangi investasi di Inggris.
COVID hingga konflik
Baca Juga: Rishi Sunak, PM Inggris Termuda dalam Sejarah Inggris Berusia 42 tahun
Belum selesai dengan keruwetan Brexit dan dampak kesengsaraan dari kebijakan pengetatan anggaran, Inggris kembali dihantam oleh pandemi global, COVID-19. COVID-19 telah menghambat perekonomian di berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali efeknya juga merusak ekonomi Inggris.