DECEMBER 9, 2022
Kolom

Henry Subiakto: Starlink Berbahaya Bagi Indonesia?

image
Prof Henry Subiakto (Foto: Antara)

ORBITINDONESIA.COM - Saya tidak setuju Starlink diizinkan beroperasi di Indonesia. Starlink tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan internet service provider, seperti grup Telkom, Indosat dll.

Tetapi Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan sparatisme seperti KKB/OPM dan pendukungnya untuk komunikasi mereka tanpa bisa terdeteksi oleh negara atau pemerintah Indonesia. Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI tanpa pemerintah bisa mengontrolnya.

Makanya Starlink ini di dunia lebih banyak digunakan oleh negara-negara satelit atau pendukung politik Amerika Serikat. Kenapa demikian? Karena Satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan satelit biasa. Seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1 atau satelit-satelit lain milik luar Eropa maupun AS di luar Elon Musk.

Baca Juga: Ramalan Nostradamus tentang Misi Pergi ke Mars dan Elon Musk

Starlink adalah satelit Low Earth Orbit (LEO) yang beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi. Satelit Starlink ukurannya kecil, jumlahnya ribuan, dirancang untuk bekerja bersama-sama secara sinkron untuk menyediakan layanan internet. Mereka itu seolah seperti BTS terbang.

Sedang satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, di mana mereka tetap berada di satu titik relatif terhadap permukaan bumi. Untuk bisa melayani publik membutuhkan perangkat stasiun bumi.

Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kg. Satelit GEO umumnya lebih besar dan lebih mahal karena teknologi dan perlengkapan yang lebih kompleks, serta kebutuhan untuk bertahan di orbit yang lebih tinggi.

Baca Juga: Elon Musk: Ada Penyalahgunaan Hukum di Tengah Konflik tentang Sensor dan Disinformasi di Brasil

Starlink menggunakan teknologi phased-array untuk antena, yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit itu sendiri. Sistem ini dirancang untuk latency rendah dan kecepatan tinggi. Alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang bisa dipindah-pindahkan.

Sedang Satelit GEO harus menggunakan antena besar yang tetap untuk komunikasi berkapasitas tinggi. Biasanya disebut stasiun bumi. Karena itu satelit konvensional butuh mitra (perusahaan lain) untuk mendistribusikan layanannya ke masyarakat. Itulah perusahaan operator seluler dan ISP yg menjadi mitra perusahaan satelit. 

Beda dengan Starlink yang sesungguhnya tidak butuh mitra seperti itu. Mereka bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga. Maka masuknya Starlink itu bisa menjadi awal kematian perusahaan-perusahaan nasional yang bergerak di bidang internet, seluler bahkan satelit di Indonesia.

Baca Juga: CEO Tesla Elon Musk Tiba di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai Bali untuk Resmikan Starlink Bersama Jokowi

Jadi Starlink itu bukan sekadar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata, sebagaimana perusahaan satelit lain. Tapi Starlink juga bisa berfungsi sebagai perusahaan internet service provider, bahkan juga bisa berfungsi sebagai platform digital, mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yang sekarang tak hanya sekedar medsos tapi juga mengarah menjadi platform media komunikasi yang berfungsi beragam.

Ini bahayanya. Perusahaan Elon Musk itu bukan hanya trafik dan kontennya di luar jangkauan yuridiksi, kedaulatan digital dan kewenangan hukum nasional Indonesia, tapi juga fungsinya bisa dimanfaatkan mereka yang ingin melawan kedaulatan negara atau yang mengancam keamanan nasional.

Perusahaan Starlink sebagai perusahaan AS itu dilindungi oleh UU AS yang bernama US Cloud Act 2018. Menurut UU tersebut, data yang mereka kumpulkan atau berada di perusahaan AS tidak boleh diakses negara lain (termasuk Indonesia), tapi harus terbuka pada Pemerintah dan penegak hukum AS. Persoalannya Starlink apakah lebih nurut pada hukum di Indonesia, atau tunduk pada hukum Amerika Serikat? Ini harus jelas.

Baca Juga: Elon Musk Saksikan Uji Coba Starlink di Puskesmas Denpasar Bali

Kalau mereka melayani Papua atau daerah konfik lain maka datanya bisa diakses intelejen dan pemerintah AS untuk kepentingan politiknya. Sebaliknya data itu tidak bisa diakses oleh pemerintah Indonesia. Di situlah kenapa Starlink ini dapat membahayakan keutuhan NKRI, saat melayani wilayah gunung-gunungv dan pedalaman Papua lalu dipakai untuk kepentingan pemberontakan.

Seperti yang terjadi sekarang di Ukraina. Teknologi komunikasi yang dipakai tentara Ukraina melawan Rusia adalah Starlink. Rusia kewalahan karena seluruh pergerakan pasukannya bisa terpantau tentara Ukraina.

Lalu apa yang terjadi kalau OPM atau KKB dan sel-sel pendukungnya juga pakai fasilitas Starlink? Terlebih kalau gerakan separatis mereka didukung asing, siapa yang tanggung jawab jika mereka menjadi makin besar dan canggih hingga mampu melawan TNI/Polri atau kekuatan negara?

Baca Juga: Menteri Kelautan Sakti Wahyu Trenggono Harap Elon Musk Beri Akses Internet Murah ke Nelayan

Mohon dipikirkan lagi bagi mereka yang mendukung masuknya Starlink di Indonesia. Bagi rakyat kecil tahunya hanya internet murah dan sampai pelosok-pelosok, pasti didukung.

Tapi bagaimana konsekuensinya, itu yang harus dipikirkan. Agak mending kalau Elon Musk dan perusahaannya bersedia setuju dan komit tunduk pada UU yg berlaku di Indonesia. Lalu wilayah layanan tidak boleh untuk wilayah rawan misal Papua? Apakah mereka mau? Silahkan ditanyakan. #

*Prof.Dr.Drs Henri Subiakto, SH, MA Lahir di Yogyakarta 29 Maret 1962 Merupakan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga sejak 2015. Alumni Program Doktor Ilmu Sosial Unair (2010). IBT (Telecommunication) Policy Program in Information and Communication University (ICU), Daejon Republic of Korea (2008), International Fellow, on Short Course of Advance Research for Communication, di Edith Cowan University, Perth Australia (2006), Curricullum on Journalism awarded by US Department of State (2003), Alumni PAI London UK (2000). Alumni Pascasarjana Komunikasi UI (1996). Alumni Fakultas Hukum UII (1987). Alumni Jurusan Komunikasi Fisipol UGM (1987). pada tahun 2013 sempat menjadi Komisaris PT Metra Digital (Telkom Group), Tahun 2007 menjadi Komisaris utama (Ketua Dewas) Perum LKBN. dan Menjadi Staf Ahli kementerian Komunikasi dan Informatika RI sejak 2007. ***

Sumber: WhatsApp grup Forum Alumni UI

Berita Terkait