KBRI Beijing Minta Masyarakat Indonesia Waspada Penipuan Modus Pengantin Pesanan di China
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 30 April 2024 09:38 WIB
"Masalahnya praktik perjodohan dengan menggunakan agen perjodohan, merupakan praktik yang lazim di China, sehingga menyulitkan pihak KBRI untuk mengejar unsur pidana bila terjadi dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)," kata Airlangga.
Airlangga menyebut, modus penipuan dalam kasus pengantin pesanan dengan tujuan eksploitasi tersebut dapat mengarah pada TPPO, meski penentuan kasus pengantin pesanan sebagai TPPO perlu dilihat unsur-unsur pidananya sesuai dengan Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
"Persoalan lain adalah sering perempuan WNI dan pria China tidak bisa berkomunikasi karena beda bahasa, beda budaya, beda kebiasaan, dan karena kondisi itulah maka rentan terjadi cek-cok hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," ungkap Airlangga.
Sementara pihak berwenang di China, baik pemerintah pusat dan daerah melihat kasus tersebut bukan sebagai kasus TPPO dan hanya merupakan perkawinan lintas negara biasa.
"Mereka juga memandang bila ada pertengkaran di rumah tangga sebagai masalah suami-istri semata karena perempuan WNI yang telah menikah secara resmi tanpa paksaan dengan pria China sesuai dengan ketentuan hukum China, jadi pertengkaran yang terjadi diarahkan untuk diselesaikan oleh suami-isteri dan keluarga," jelas Airlangga.
Di samping itu, pihak agen perjodohan juga kerap mengawasi dan mengancam baik pihak suami dan keluarga maupun istri dan keluarganya, agar tidak melaporkan adanya dugaan kekerasan dalam rumah tangga agar sindikat mereka sulit terdeteksi dan tidak terjangkau kasus pidana.
"Namun KBRI Beijing tentu merespon setiap laporan pengaduan dari perempuan WNI atau keluarga perempuan WNI yang menjadi korban dugaan penipuan bermodus pengantin pesanan dan melakukan pendampingan terhadap para korban sesuai dengan hukum setempat yang berlaku. Setiap pengaduan selalu dikoordinasikan dengan pihak berwenang setempat untuk membantu mencari solusi," kata Airlangga.
Untuk tindakan pencegahan, KBRI Beijing melakukan wawancara kepada perempuan WNI yang akan mengajukan legalisasi dokumen Surat Keterangan Belum Menikah (SKBM) sebagai syarat pernikahan lintas negara.
"Saat wawancara itu tidak jarang kami menyampaikan kepada perempuan WNI untuk tidak melangsungkan perkawinan bila ada indikasi mereka merupakan pengantin pesanan, dan akan menjadi masalah di kemudian hari. Namun semua kembali kepada perempuan WNI karena KBRI Beijing tidak dapat melarang atau menahan perempuan WNI yang tetap berkeinginan melangsungkan pernikahan," ungkap Airlangga.
Kasus pengantin pesanan mencapai puncaknya pada 2019 saat KBRI Beijing menampung belasan korban dari provinsi Henan di "shelter" KBRI Beijing.