Buhtan berarti "fitnah", "dusta", atau dalam istilah sekarang hoax.
Menurut para ahli tafsir Al Qur'an, buhtan berbeda dengan ghibah. Jika ghibah adalah membicarakan aib seseorang yang benar adanya, namun orang itu tak suka jika aibnya dibicarakan terbuka, maka buhtan adalah mengabarkan aib seseorang yang tak ada sama sekali pada orang itu. Aib karangan.
Jika ghibah dalam beberapa kondisi masih dibolehkan (misalkan mengabarkan kelakuan pejabat negara yang korup, agar masyarakat luas terselamatkan dari kelakuan sang pejabat. Imam Al Ghazali membolehkan ghibah seperti ini).
Sedangkan buhtan tak ada pengecualian sama sekali. Tak boleh dilakukan dengan alasan apa pun.
Misalkan dalam konteks Pilpres 2024 sekarang dengan mengatakan jika hasil survei elektabilitas seorang capres tinggi, maka capres itu membayar lembaga survei tersebut.
Sedangkan jika hasil elektabilitas rendah, berarti sang capres tidak membayar atau bahkan sang capres berutang, belum membayar, sehingga hasil surveinya dibuat buruk oleh lembaga survei.
Kendati mungkin memang ada lembaga survei yang berlaku lancung begitu, namun membuat sebuah premis bahwa semua lembaga survei berbuat seperti itu adalah sebuah kecerobohan logika yang fatal.
Pernyataan seperti ini jelas mengandung buhtan baik kepada lembaga survei maupun kepada capres tertentu yang diasosiasikan "membayar" atau "belum membayar/punya utang" itu. Ini sudah bukan ghibah lagi, tetapi jelas merupakan buhtan menurut penjelasan para ulama.
Apa konsekuensi bagi seseorang yang melakukan buhtan atau sebuah fitnah yang disengaja, aib karangan yang sebenarnya tak ada atau tak dilakukan oleh orang yang dituduhkan?
Jawabannya terdapat pada ayat 17, "Allah memperingatkan kamu agar jangan lagi mengulangi hal itu (aktivitas buhtan) selama-lamanya, jika kamu orang yang beriman."