ORBITINDONESIA.COM - Jum'at awal Januari 2017, saya menjadi khatib di Masjid Al Hakim, Taman Menteng, Jakarta Pusat.
Ini lokasi yang pernah menjadi Stadion Persija selama puluhan tahun sampai digusur pada 2006 dan ditata menjadi lebih hijau, elok dan apik.
Usai salat Jum'at, seorang jama'ah menemui saya. Dia bilang tertarik dengan materi khutbah yang saya sampaikan dan bertanya apakah saya bersedia menyampaikan materi yang sama di Medan, tempat dia menjadi pengurus DKM?
Saya bersedia. Tiga bulan kemudian saya sampaikan lagi materi serupa di salah satu masjid besar di ibu kota Sumatra Utara itu.
Sepanjang 2017, yang terdiri dari 52 hari Jum'at, saya menyampaikan khutbah 40 kali di berbagai masjid. Besar, kecil, masjid pemukiman, masjid kampus, masjid perkantoran.
Polanya serupa Jamaah yang mendengar di satu masjid, kemudian mengundang saya menyampaikan materi yang sama di masjidnya sendiri. Artinya, mereka merasakan pentingnya materi yang saya sampaikan, bukan karena saya khatibnya.
Topik khutbah yang saya bawakan sepanjang 2017 itu adalah cuplikan Surat An Nuur ayat 15-17 sebagai berikut:
15. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang remeh saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
16. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar".
17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.
2016 - 2017 adalah salah satu masa paling mendidih menyangkut politik domestik sehubungan dengan Pilkada DKI. Awal Desember 2016 terjadi Aksi Damai 212 yang diikuti jutaan umat Islam di kawasan Monas dan sekitarnya. Ruang dunia maya dan media sosial penuh dengan misinformasi dan distorsi, puntiran fakta, pelintiran berita. Hoax menjadi-jadi, dari berbagai penjuru, dari banyak kubu.
Dari fenomena itu, saya berikhtiar mencari ayat-ayat Al Qur'an yang mampu mendinginkan suasana, mengajak masyarakat dan umat Islam khususnya, untuk berhati-hati dalam menyebar dan menyiar sepotong kabar.
Tiga ayat pada QS 24: 15 - 17 di atas sesungguhnya bermula dari ayat 11 dan berakhir pada ayat 20 sebagai sebuah topik lengkap, yang dalam khasanah tafsir dikenal sebagai kisah haditsul ifki (kabar dusta) yang ditudingkan kepada Bunda Aisyah r.a, perempuan mulia istri Nabi Muhammad ?.
Tulisan singkat saya ini tidak mengulas haditsul ifki sebagai subjek spesifik, melainkan mencuplik tiga ayat saja seperti pada terjemahan di atas.
Dua kata kunci pada rangkaian ayat itu bagi saya adalah hayyinan dan buhtan
Hayyinan dalam terjemahan bebas berarti "remeh" atau "ringan". Sehingga ayat 15 Surat An Nuur itu menggambarkan bagaimana manusia saat mendengar berita bohong kemudian meneruskan begitu saja kepada orang lain tanpa berusaha mengecek kebenarannya lebih dulu.
Mengapa tabiat ini muncul? Karena manusia menganggap perangai seperti itu adalah hayyinan, perkara remeh temeh, ringan. No big deal. Kalau nanti terbukti salah, tinggal minta maaf saja. Gampang.
Selesai perkara? Tidak!
Sementara manusia menganggap menyebarkan kabar bohong itu hayyinan tetapi "dalam pandangan Allah merupakan hal/dosa yang besar." (akhir ayat 15).
Adapun kata buhtan muncul pada ayat 16. "Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, "Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Maha Suci Engkau, ini adalah buhtan yang besar."
Buhtan berarti "fitnah", "dusta", atau dalam istilah sekarang hoax.
Menurut para ahli tafsir Al Qur'an, buhtan berbeda dengan ghibah. Jika ghibah adalah membicarakan aib seseorang yang benar adanya, namun orang itu tak suka jika aibnya dibicarakan terbuka, maka buhtan adalah mengabarkan aib seseorang yang tak ada sama sekali pada orang itu. Aib karangan.
Jika ghibah dalam beberapa kondisi masih dibolehkan (misalkan mengabarkan kelakuan pejabat negara yang korup, agar masyarakat luas terselamatkan dari kelakuan sang pejabat. Imam Al Ghazali membolehkan ghibah seperti ini).
Sedangkan buhtan tak ada pengecualian sama sekali. Tak boleh dilakukan dengan alasan apa pun.
Misalkan dalam konteks Pilpres 2024 sekarang dengan mengatakan jika hasil survei elektabilitas seorang capres tinggi, maka capres itu membayar lembaga survei tersebut.
Sedangkan jika hasil elektabilitas rendah, berarti sang capres tidak membayar atau bahkan sang capres berutang, belum membayar, sehingga hasil surveinya dibuat buruk oleh lembaga survei.
Kendati mungkin memang ada lembaga survei yang berlaku lancung begitu, namun membuat sebuah premis bahwa semua lembaga survei berbuat seperti itu adalah sebuah kecerobohan logika yang fatal.
Pernyataan seperti ini jelas mengandung buhtan baik kepada lembaga survei maupun kepada capres tertentu yang diasosiasikan "membayar" atau "belum membayar/punya utang" itu. Ini sudah bukan ghibah lagi, tetapi jelas merupakan buhtan menurut penjelasan para ulama.
Apa konsekuensi bagi seseorang yang melakukan buhtan atau sebuah fitnah yang disengaja, aib karangan yang sebenarnya tak ada atau tak dilakukan oleh orang yang dituduhkan?
Jawabannya terdapat pada ayat 17, "Allah memperingatkan kamu agar jangan lagi mengulangi hal itu (aktivitas buhtan) selama-lamanya, jika kamu orang yang beriman."
Ini sebuah peringatan sangat keras dan tegas, yang jika dibaca secara mahfum mukhalafah (makna kebalikan), maka menjadi "kamu bukan termasuk orang-orang yang beriman jika masih saja melakukan buhtan."
Semoga dengan semakin mendekatnya 14 Februari 2024, semua pihak menjauhkan diri dari aktivitas buhtan terhadap capres dan caleg mana pun.
Kritisi rekam jejak mereka dan visi, misi, program kerja yang mereka kampanyekan, namun jangan ciptakan dan sebarkan buhtan tentang mereka hanya karena pilihan politik berbeda.
Sebab, melakukan buhtan adalah dosa besar di sisi Allah, bukan perkara hayyinan atau persoalan ringan seperti anggapan sebagian manusia.
Wallahu a'lam bi shawab.
God knows best.
Cibubur, 17 Januari 2024. ***