Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 16 Januari 2024 12:29 WIB
Hal mana menunjukkan ada proses relasi kuasa yang sesungguhnya mengarah ke fenomena terjadinya "degradasi" demokrasi.
Gejala ini bisa dimaknai sebagai pemburukan kualitas demokrasi, yang akan dikenang dalam sejarah demokrasi Indonesia. Sebab komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban sudah terabaikan.
Walhasil, yang muncul dipermukaan semua cara "dihalalkan". Seperti yang banyak dianologikan bahwa pertarungan pemilu pilpres (kompetisi) makin tidsk adil.
Sebab wasit, penjaga garis, panitia pertandingan, pemilik stadion, bahkan sampai petugas bersih-bersih stadion pun memihak satu tim untuk menang.
Pertanyaannya, inikah bentuk demokrasi yang diperjuangkan reformasi ? Melihat situasi perjalanan demokrasi yang kini sudah melenceng dari koridor demokrasi. Maka kita pun kembali rindu demokrasi desa yang penuh kedamaian dan kejujuran dalam memilih pemimpin.
Selamatkan demokrasi
Indonesia merdeka, sejujurnya bukan hanya demi rakyat, melainkan juga harus dijalankan oleh rakyat atas nama penugasan rakyat.
Akan tetapi berkaca pada proses memilih pemimpin lewat seleksi dan kontekstasi elektoral yang ada, kita pun bertanya apakah demokrasi kita perlu diselamatkan ?.
Pertanyaan ini muncul tatkala melihat fakta fakta yang berkembang akhir akhir ini. Bahkan sampai menimbulkan pertanyaan fundamental, apakah kita harus belajar dari "demokrasi desa" tradisional ?.
Meski disadari, UUD NRI 1945 sama sekali tidak memuat jaminan demokrasi. Dan karena itu, tentu saja mudah diterobos serta dimanipulasi oleh berbagai modus dan cara.