Erros Djarot: Desain Politik Kerusuhan 2024, Sebagai Hadiah Tahun Baru?
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 02 Januari 2024 16:45 WIB
Akibatnya, ketegangan, keresahan, dan gesekan massa rakyat yang pro dan kontra pun menjadi semakin melebar dan meluas. Intimidasi aparat negara dilakukan secara masif terhadap para aktivis partai pendukung Paslon No. 1 dan 3.
Hal yang sama dilakukan juga terhadap para aktivis mahasiswa yang keras bersuara anti politik dinasti, menuntut ditegakkannya demokrasi dan hukum secara adil bermartabat. Terjadi pula aksi brutal secara demonstratif penurunan dan perusakan poster dan baliho (selain milik Paslon No. 2), di berbagai kota.
Konon dilakukan oleh aparat penguasa daerah di wilayah setempat. Mereka seperti harus siap menjalankan perintah atasan untuk memusuhi rakyat yang adalah Tuan mereka sesungguhnya. Karena kiblat ibadah mereka pun sudah diubah arahnya, menjadi hanya ke satu arah…istana!
Lebih menyedihkan lagi munculnya peristiwa anti demokrasi yang terjadi baru-baru ini. Di depan markas tentara di Boyolali, Jawa Tengah, segerombolan oknum prajurit TNI telah main hakim sendiri menganiaya massa pendukung Paslon No. 3.
Dengan sangat brutal mereka melakukan perbuatan di luar batas kemanusiaan yang beradab. Para oknum prajurit itu menyiksa pendukung Paslon 03 secara buas dan penuh amarah seolah tengah menghabisi musuh abadinya.
Berdasarkan amatan, tak mungkin kebrutalan oknum TNI ini terjadi bila sikap anarkis ini tidak terbangun oleh situasi dan kondisi yang membuat mereka siap menjadi musuh rakyat.
Kemungkinan besar mereka memang sengaja dijauhkan dari sejarah lahirnya TNI yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukan untuk malah menjadi dan dijadikan sebagai musuh rakyat!
Atas berbagai kejadian panas ini, banyak yang kemudian memprediksi bahwa hari-hari menjelang hari H atau pada hari-hari pasca pencoblosan, bakal terjadi kerusuhan yang cukup besar dan destruktif.
Lokasi daerah yang diperkirakan berpotensi besar menjadi arena chaos paling serius dan menakutkan adalah wilayah Jawa Tengah, khususnya kota Solo dan sekitarnya. Penguasaan kota Solo oleh massa rakyat akan dijadikan sebagai pernyataan politik bahwa Solo bukan milik Gibran dan dinasti Widodo semata.
Sementara di sisi lain, pihak dinasti Widodo dan pendukungnya, termasuk para loyalis buta dan oknum tentara non Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, pasti diperintahkan bersiaga. Siap untuk melakukan perlawanan membentengi kekuasaan sang putra mahkota, Gibran.