Ekonomi Indonesia Tumbuh Kuat di Tengah Volatilitas 2023
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 30 Desember 2023 13:00 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Tahun 2023 merupakan jalanan yang terjal karena diwarnai dengan ketidakpastian dan gejolak global.
Belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19, dunia dihadapkan pada perang antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung berakhir, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, dan pasar keuangan global yang bergejolak.
Pertumbuhan ekonomi global terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris masih berjalan lambat.
International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari tahun 2022 sebesar 3,5 persen (yoy) menjadi 3,0 persen (yoy) pada 2023 dan 2,9 persen (yoy) pada 2024.
Inflasi di negara-negara maju juga masih bertahan tinggi, seperti Amerika Serikat yang masih jauh dari target 2 persen.
Demikian pula dengan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Funds Rate (FFR) yang masih bertahan tinggi dalam waktu yang lama dan telah mengalami kenaikan beberapa kali sepanjang 2023.
FFR diperkirakan baru akan mengalami penurunan paling cepat pada Maret 2024. Itu pun jika pertumbuhan ekonomi AS semakin baik dan inflasi dapat semakin dikendalikan ke dalam sasaran.
Belum lagi, perang Ukraina dan Rusia yang sampai saat ini masih berlangsung menyebabkan kenaikan harga komoditas energi dan pangan.
Selain itu, pemulihan ekonomi Tiongkok yang awalnya diperkirakan dapat melaju cepat seusai penghapusan Zero Covid Policy, namun ternyata belum bisa melonjak seperti perkiraan.
Meskipun menghadapi ketidakpastian global, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2023 tetap mampu tumbuh kuat sebesar 4,94 persen secara year on year (yoy), meski melambat dari triwulan sebelumnya sebesar 5,17 persen (yoy).
Kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik utamanya didorong oleh permintaan domestik yang solid, tercermin pada kuatnya konsumsi rumah tangga serta meningkatnya investasi di tengah turunnya pengeluaran pemerintah dan kinerja ekspor, masing-masing karena pergeseran belanja pegawai dan penurunan nilai ekspor maupun impor sejalan dengan perlambatan ekonomi global.
Ekonomi domestik yang relatif kuat juga terekam pada indikator perbankan yang terlihat pada pertumbuhan kredit bank umum yang masih cukup baik yaitu sebesar 8,96 persen (yoy) meskipun melambat dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 11 persen (yoy).
Pertumbuhan kredit tersebut didorong oleh membaiknya aktivitas usaha dan meningkatnya tingkat keyakinan atau optimisme konsumen.
Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) juga masih tumbuh yaitu sebesar 6,54 persen (yoy) atau sedikit melambat dari tahun sebelumnya sebesar 6,77 persen (yoy).
Perlambatan DPK antara lain dipengaruhi oleh pertumbuhan DPK yang tinggi pada masa pandemi yang di antaranya disebabkan terbatasnya konsumsi masyarakat, tingginya surplus di beberapa perusahaan korporasi, meningkatnya konsumsi masyarakat seiring dengan penyesuaian status pandemi menjadi endemi, peralihan arus dana non-residen ke luar seiring tingginya suku bunga global, serta dampak dari instrumen alternatif penempatan dana selain DPK yang semakin atraktif.
Selain itu, perlambatan DPK dan kredit juga disebabkan adanya aksi sebagian korporasi yang melakukan self financing dengan menggunakan surplus cashflow di perbankan untuk membiayai kebutuhan belanja operasional. Hal tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan Kredit Modal Kerja (KMK) dibanding tahun lalu.
Bauran kebijakan
Untuk menjaga ketahanan ekonomi Indonesia dari perekonomian dunia yang melambat dengan ketidakpastian pasar keuangan, pemerintah melalui Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Hal itu dilakukan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen.
Kebijakan moneter tetap diarahkan pro-stability untuk penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5 plus minus satu persen pada 2024.
Sementara itu kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar ditempuh dengan mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.
Langkah-langkah penguatan bauran kebijakan yang ditempuh, di antaranya stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder; dan penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
SRBI, SVBI dan SUVBI menjadi instrumen untuk pendalaman pasar uang dan menarik aliran modal asing masuk ke dalam negeri. Lelang SRBI dan SVBI hingga 19 Desember 2023 masing-masing mencapai Rp229,95 triliun dan 421,50 juta dolar AS. Sementara lelang SUVBI telah mencapai 129 juta dolar AS.
Selain itu, BI melakukan penguatan kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan fokus pada suku bunga kredit per sektor ekonomi.
Pengendalian inflasi
Di samping itu, pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan bekerja sama untuk mengendalikan inflasi tetap dalam sasaran tiga plus minus satu persen pada 2023 dan 2,5 plus minus satu persen pada 2024.
Perkembangan tersebut sejalan dengan konsistensi kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar rupiah oleh Bank Indonesia (BI). BI tetap mempertahankan suku bunga BI-Rate pada level 6,00 persen.
Keputusan tersebut konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability untuk penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) November 2023 terkendali pada 2,86 persen secara year on year (yoy) sehingga diperkirakan inflasi IHK 2023 akan berada dalam kisaran tiga plus minus satu persen.
Ke depan, BI terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan mempererat sinergi dengan pemerintah pusat dan daerah dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui penguatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah untuk memastikan inflasi terkendali dalam kisaran tersebut.
Percepatan digitalisasi sistem pembayaran
Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran dan perluasa?n kerja sama antarnegara juga dilakukan dalam rangka meningkatkan volume transaksi dan mendorong inklusi Ekonomi Keuangan Digital (EKD), melalui perluasan implementasi QRIS, dan penguatan implementasi Kartu Kredit Indonesia (KKI) Segmen Pemerintah.
Jumlah pengguna QRIS telah mencapai target untuk 2023 dengan posisi per November 2023 sebanyak 45,03 juta pengguna. Nominal transaksi QRIS tercatat tumbuh 157,43 persen secara year on year (yoy) sehingga mencapai Rp24,90 triliun.
Selanjutnya, target penggunaan QRIS ditetapkan sebesar 55 juta pengguna untuk 2024, dengan target volume transaksi QRIS sebanyak 2,5 miliar transaksi. Dalam hal ini, pemerintah memperkuat strategi implementasi QRIS Antarnegara untuk percepatan akseptasi transaksi.
Sementara itu penguatan implementasi Kartu Kredit Indonesia (KKI) Segmen Pemerintah dilakukan dengan mengembangkan KKI fitur Online Payment, serta perluasan sosialisasi, koordinasi, dan monitoring yang lebih intensif.
Sejalan dengan upaya tersebut, pemerintah juga memperluas kerja sama internasional dengan bank sentral dan otoritas negara mitra, khususnya melalui QRIS antarnegara dan Local Currency Transactions (LCT), serta fasilitasi promosi investasi, perdagangan, dan pariwisata di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait.
Koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan fiskal pemerintah terus ditingkatkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk keseluruhan tahun 2023 diperkirakan berada dalam kisaran 4,5 hingga 5,3 persen.
Pada 2024, kinerja konsumsi, baik swasta maupun pemerintah, dan investasi diproyeksikan terus meningkat sejalan dengan keyakinan konsumsi masyarakat yang tetap kuat, dampak positif pelaksanaan pemilihan umum, serta keberlanjutan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Karena itu pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2024 diproyeksikan meningkat dalam kisaran 4,7 sampai dengan 5,5 persen.
Berbagai upaya penguatan bauran kebijakan dan sinergi antarpemangku kepentingan dilakukan guna mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan Indonesia di tengah berbagai tantangan global yang menghantui sepanjang 2023 dan terus berlanjut ke 2024.***