A. Kunarwoko: Gerundelan Orang Republik, Gerundelan Orang Katolik
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 16 November 2023 10:20 WIB
Ada sinyal kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilawan dalam gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998, sekarang ini sudah berada di depan mata. Instrumen demokrasi konstitusional diakali, agar nafsu politik bisa dieksekusi.
Romo Magnis “merangkum” gerundelan orang-orang sekarang ini: kemiskinan bertambah, penguasa tanpa malu membangun dinasti politik keluarga, pengadilan yang tidak independen, hingga korupsi yang merajalela.
Mencermati carut marut menjelang Pemilu ini, saya jadi ingat pandangan Romo Mangun tentang politik. Menurut Romo Mangun, ada dua jenis politik. Pertama adalah politik kekuasaan yang tentunya bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.
Baca Juga: Kejaksaan RI Petakan 10 Sektor yang Rawan Terjadi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Sementara yang kedua adalah politik moral, yakni politik demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Politik moral disebut sebagai politik yang otentik dibandingkan politik kekuasaan yang sering salah kaprah dan dianggap masyarakat sebagai politik yang kotor.
Romo Mangun menambahkan bahwa setiap hari setiap manusia selalu berpolitik. Bukan tanpa sebab karena politik secara etimologis berasal dari kata polis dan thoikos yang memiliki arti sebagai masyarakat yang berpikir.
Gerundelan orang-orang Republik - dan juga orang Katolik - akhir-akhir ini terjadi karena kita menyaksikan kembali pertarungan antara politik moral dan politik kekuasaan.
Ketika politik kekuasaan tampil dengan wajahnya yang garang, maka kata etika (bukan etiket), etis, melanggar moral, nrabas tatanan moral, moralitas, hati nurani dan sebutan-sebutan seputar itu jadi marak disebut di mana-mana dan oleh siapapun.
Dalam pertarungan semacam itu, kaum moralis selalu mengedepankan nilai, moral, konstitusi, penegakan hukum. Kaum moralis menjaga kekuasaan bekerja berdasarkan konstitusi, berdasarkan hukum, berdasarkan kepatutan, kepantasan, dan etika keindonesiaan.
Sementara politik kekuasaan berkutat pada hasrat berkuasa selama-lamanya. Kekuasaan untuk kekuasaan. Dan segala cara akan dipakai untuk mempertahankan kekuasaan sepanjang dia bisa, sebagaimana pernah didalilkan Machiavelli, filsuf Itali abad ke-15.