DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dr Abdul Aziz: Gazalba Saleh dan Anehnya Logika Hukum MA

image
Dr. Abdul Aziz, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.

Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Ag., Dosen Fakultas Syari'ah UIN Raden Mas Said Surakarta

ORBITINDONESIA.COM - Dunia hukum Indonesia kembali gonjang-ganjing. Betapa tidak! Hakim Agung Gazalba Saleh (GS), terdakwa kasus suap pada kasasi pidana koperasi simpan pinjam (KSP) Intidana di Mahkamah Agung (MA) yang menghebohkan itu -- divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Bandung, awal Agustus lalu (lihat Abdul Aziz dalam SPost.Com 17 Juli 2023, "Robohnya Keadilan Kami").

Sebelumnya GS telah dituntut 11 tahun penjara di pusaran kasus suap di MA. GS diyakini terlibat secara bersama-sama untuk memengaruhi putusan kasasi pidana Ketua Umum KSP Intidana Budiman Gandi Suparman.

Putusan bebas untuk GS itu dibacakan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bandung Yoserizal yang duduk sebagai ketua majelis hakim, Selasa (1 Agustus 2023) lalu. Anehnya, dua penyuap hakim agung yang menyebabkan GS tersangka, telah mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Baca Juga: Bambang Dwi Suseno: Fenomena Tangping di China dan Waspadai Migrasi Ke Indonesia

Jaksa penuntut umum (JPU) KPK Arief Rahman menjelaskan bahwa majelis hakim menyatakan tidak menemukan alat bukti kuat untuk menjerat GS dalam kasus suap di MA tersebut. Sementara itu, JPU KPK meyakini alat bukti yang mereka kantongi sudah kuat untuk menjerat GS.

Sekali lagi, logika awam dibuat pusing -- mana yang benar? Dari mana majelis hakim PN Bandung punya logika bahwa GS tidak terbukti menerima suap?

Bukankah orang yang menyuap GS telah divonis bersalah dan mendekam di penjara? Apakah hakim tidak menyaksikan pengakuan para penyuap GS hingga memutuskan vonis bebas kepada hakim agung korup itu?

"Pertimbangan majelis hakim intinya tidak cukup bukti. Tapi kalau kita lihat, kita yakin bahwa alat bukti, terutama saksi, kemudian petunjuk itu menurut kami kuat untuk membuktikan dakwaan kami terhadap apa yang kita sangkakan kepada terdakwa. Namun majelis hakim menilai lain, nanti kita akan kupas, kita perdalam lagi putusan ini," ucap JPU Arief Rachman.

Baca Juga: Profil Lengkap Kirei Na Hana Ramadhani, Anggota Paskibraka di Upacara HUT ke 78 RI di Istana Negara

Perlu diketahui, GS diyakini melanggar Pasal 12 huruf C jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif pertama.

GS didakwa menerima uang senilai 20 ribu dolar Singapura (SGD) dari total SGD 110 ribu untuk mengurus kasasi pidana KSP Intidana. Uang haram tersebut untuk mempengaruhi putusan GS supaya Budiman Gandi Suparman dipenjara selama 5 tahun.

Sedangkan kedua penyuap GS, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma (selaku penyuap hakim agung di lingkungan MA) dalam kasus KSP Intidana tersebut telah divonis hukuman, masing-masing 6,5 dan 5,5 tahun penjaran oleh PN Bandung, Senin, 26 Juni 2023.

"KPK secara prinsip menghargai setiap putusan majelis hakim. Namun demikian kami sangat yakin dengan alat bukti yang KPK miliki, sehingga kami akan segera lakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta.

Baca Juga: Prediksi Skor BRI Liga 1: Persikabo 1973 vs Madura United, Laga Berat Laskar Padjajaran

Untuk sementara, GS bisa tersenyum. Lepas dari jeratan tuntutan 11 tahun penjara.Tapi, KPK masih menyimpan peluru lain untuk "menembak" GS. Yaitu soal gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"KPK segera melanjutkan proses penyidikan perkara dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU atas nama tersangka GS dimaksud, hingga membawanya pada proses persidangan," ucap Ali Fikri.

Selain itu, Ali menilai penanganan skandal suap di MA tidak sebatas pada dugaan kasus korupsi yang terjadi. Kasus itu, kata Ali, juga ditangani KPK sebagai upaya menjaga marwah peradilan dari praktik transaksi perkara.

"Penanganan perkara ini pada hakikatnya tidak semata penegakan hukum tindak pidana korupsi saja. Namun juga sebagai upaya menjaga marwah institusi peradilan agar tidak terjadi praktik lancung korupsi, salah satunya melalui modus jual-beli perkara," tutur Ali.

Baca Juga: Mengenal Sosok Baru di Drakor The First Responders 2 Setelah Kepergian Bong Bersaudara

Jual beli perkara di MA sudah tidak asing lagi. Keterlibatan hampir semua jajaran tinggi di MA dalam mempermainkan perkara di tingkat kasasi, baik pidana maupun perdata, sudah menjadi pengetahuan umum.

Akibatnya, masyarakat kurang percaya terhadap keadilan hukum di Indonesia. Maklumlah MA adalah ujung tombak tertinggi masyarakat untuk mencari keadilan. Jika MA-nya belepotan hitam seperti itu, kemana lagi masyarakat berharap memperoleh keadilan.

Sepeninggal hakim agung Artidjo Alkostar (1948-2021), yang pernah menjabat hakim agung/ketua Kamar Pidana MA (2000-2018), marwah institusi hukum tertinggi tersebut jatuh.

Saat Artidjo masih berada di MA, masyarakat antikorupsi masih punya harapan untuk mendapatkan keadilan hukum di MA. Artidjo saat itu menjadi benteng terakhir penegakan hukum yang adil. Tapi sejak Artidjo pensiun dari MA, kondisi lembaga hukum tertinggi tersebut kembali menjadi sorotan publik.

Baca Juga: PAK PRESIDEN! Dompet Emak-emak Kian Kempes Setelah Harga Daging Ayam Sampai Sayuran Naik

Banyak kasus pidana korupsi yang membuat publik geleng-geleng kepala. Salah satunya, pembebasan terdakwa hakim agung GS tersebut di atas. Kasus GS menambah keprihatinan publik terhadap MA yang wibawanya terus merosot.

Apalagi dalam tiga tahun terakhir, lima pejabat penting di MA: Hakim Agung Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh, kemudian dua Sekertaris MA Nurhadi dan Hasbi Hasan dicokok KPK. Semuanya terlibat kasus korupsi yang merusak marwah hukum dan mengacak-acak keadilan. Sungguh memprihatinkan. ***

Berita Terkait