Abustan: Kasus Rocky Gerung dan Nilai Demokrasi Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 11 Agustus 2023 17:30 WIB
Oleh sebab itu, delik penghinaan kepada Presiden yang dilaporkan telah ditolak oleh Mabes Polri adalah sangat beralasan. Hal itu disebabkan karena kualifikasinya adalah delik aduan (klacht delict) yang kecil kemungkinan Presiden Jokowi menjadi pelapor.
Apalagi Presiden sendiri sudah menunjukkan sikapnya, dengan pernyataan: "Itu masalah kecil. Saya kerja saja." Artinya, Jokowi tak mau mengadukan kasus itu.
Akan tetapi, dalam perkembangan tidaklah selesai sampai disitu. Karena pemaksaan dari pihak-pihak tertentu akhirnya "penggeseran" delik pun dilakukan dengan menarik UU No 1 tahun 1946 (vide Pasal 14 dan 15) soal penyebaran berita bohong.
Pertanyaannya, adakah kalimat tersebut melanggar hukum dan memenuhi rumusan Pasal 14 atau 15 UU No 1 tahun 1946? Jawabnya tentu tidak. Itu objektifitas dan rasionalitas saya.
Menggarisbawahi ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) serta Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 itu memiliki 3 unsur yang mesti dipenuhi seluruhnya, yaitu; (1) menyiarkan atau menyebarkan (2) berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangi (3) keonaran.
Jika ditelusuri (dielaborasi) sedetail mungkin kata-kata yang dikemukakan Rocky yang kini menjadi objek atau landasan muatan materi pengaduan, maka konklusi yang ada yaitu tidak ditemukan/tidak terbuktinya ke 3 unsur yang menjadi elemen penting dalam membuktikan suatu delik (perbuatan) terlapor.
Dengan demikian, apa yang diungkapkan Rocky dalam acara buruh di Bekasi adalah tidak memiliki dasar (obscur libel) untuk dilaporkan ke pihak kepolisian. Namun, jika dilaporkan pun tentu saja tak layak diproses.
Konkretnya, jika diproses juga tidak memenuhi unsur delik apapun. Yang terdekat adalah soal penghinaan dan hal itu sudah jauh-jauh di eksepsi (ditepis) sendiri oleh Presiden bahwa tidak merasa terhina.