Haidar Bagir: Apakah Nasionalisme Itu Bid'ah - Renungan Pendek Menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 19 Agustus 2022 09:26 WIB
Baca Juga: Duncan Clark: Alibaba, Kediaman yang Dibangun oleh Jack Ma
Menurut Ibn Khaldun, manajemen masyarakat & pembentukan peradaban
('umran) membutuhkan semacam “nasionalisme” yang disebutnya 'ashabiyah.
‘Ashabiyah yang dimaksud adalah kohesi sosial yang terbentuk dalam kabilah-kabilah atau klan-klan - al-Qur' an menyebutnya syu'ub dan qaba'il.
Menurutnya, inilah jaminan survival masyarakat manusia. Gagasan ‘ashabiyah ini kiranya adalah sumber gagasan nasionalisme. Hanya dengan ‘ashabiyah kelompok-kelompok masyarakat bisa menjadi kuat dan menjamin non-agresi - dengan kata lain, konflik dan perpecahan.
Gagasan negara-bangsa adalah semacam bentuk 'ashabiyah ini, yang dapat melahirkan kohesi sosial-primordial: mewujudkan kesalingpahaman (ta' aruf, di antara auku-suku bangsa dan kabilah-kabilah itu - QS al-Hujurat: 13), dan kerjasama serta sinergi yang produktif, mencegah kecenderungan agresi, dan mendukung manajemen pengembangan kemajuan masyarakat.
Baca Juga: Tulisan HUT Kemerdekaan Indonesia: Ingin Bebas Dari Rutinitas Nine to Five
Di dalam Al-Quran pun, Allah mengajarkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim mendoakan negerinya secara khusus, “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini aman sentosa ..." (QS 2: 126).
Ini adalah nash/teks Qur'ani yang mengajarkan teladan tentang kecintaan kepada negeri.
Nabi Muhammad saw pun pernah bersabda mengenai negeri kelahirannya, "Sungguh kau, wahai Mekkah, adalah negeri yang paling kucintai. Andai pendudukmu tak mengusirku, aku takkan meninggalkanmu.”
Sampai-sampai dalam al-Qur'an direkam doa beliau saw untuk negeri Makkah (atau Jazirah Arab) yang dicintainya itu.
Lalu, lupakah kita akan kerinduan Nabi kepada Makkah, yang sampai-sampai disebut Allah Swt sebagai latar bagi pemindahan kiblat dari Masjidil Aqsha di Yerusalem ke kota kelahiran Nabi itu? (QS al-Baqarah: 144)