Haidar Bagir: Apakah Nasionalisme Itu Bid'ah - Renungan Pendek Menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 19 Agustus 2022 09:26 WIB
Oleh: Haidar Bagir, tokoh intelektual Islam.
ORBITINDONESIA - Dalam kesempatan hari kemerdekaan seperti kali ini, Haidar Bagir menulis, penting untuk kita bahas masalah yang sering dilontarkan secara berulang dalam diskusi mengenai hubungan Islam dan negara/bangsa:
Apakah Islam membenarkan nasionalisme dan gagasan negara-bangsa, ataukah menentangnya? "Apakah gagasan negara-bangsa itu bid'ah dan, sebagai gantinya, kita harus mengembangkan gagasan internasionalisme - semacam khilafah universal - yang melampaui itu semua?" tanya Haidar Bagir.
Al-Qur'an memang menyebut misi nubuwah (kenabian) sebagai menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Benar, memang itulah tujuan akhir risalah Islam.
Tapi, bukankah Allah juga mengajarkan: "Jauhkan dirimu dan keluargamu dari
neraka"? (6: 66)
Baca Juga: Denny JA: Mochtar Lubis, Penulis dengan Sikap Politik yang Tegas
Mengapa yang disebut hanya diri dan keluarga, bukan semesta alam?
Pada dasarnya, gagasan nasionalisme (yang tak chauvinistik) dan negara-bangsa bisa dilihat sebagai sarana pendekatan untuk mencapai tujuan itu, yakni Islam sebagai rahmat bagi semesta.
Sebab, "alam yang terahmati" itu adalah tujuan akhir, sedangkan mulai dari diri dan keluarga itu adalah sarana untuk mencapainya. Tentu tak realistis mengurus alam yang begitu besar dan beragam ini tanpa penahapan.
Dalam manajemen, ada perencanaan jangka pendek dan jangka panjang, segmentasi dan positioning, pengembangan model, pilot project, dsb. Inilah antara lain pendapat Muhammad Iqbal.
Baca Juga: Duncan Clark: Alibaba, Kediaman yang Dibangun oleh Jack Ma
Menurut Ibn Khaldun, manajemen masyarakat & pembentukan peradaban
('umran) membutuhkan semacam “nasionalisme” yang disebutnya 'ashabiyah.
‘Ashabiyah yang dimaksud adalah kohesi sosial yang terbentuk dalam kabilah-kabilah atau klan-klan - al-Qur' an menyebutnya syu'ub dan qaba'il.
Menurutnya, inilah jaminan survival masyarakat manusia. Gagasan ‘ashabiyah ini kiranya adalah sumber gagasan nasionalisme. Hanya dengan ‘ashabiyah kelompok-kelompok masyarakat bisa menjadi kuat dan menjamin non-agresi - dengan kata lain, konflik dan perpecahan.
Gagasan negara-bangsa adalah semacam bentuk 'ashabiyah ini, yang dapat melahirkan kohesi sosial-primordial: mewujudkan kesalingpahaman (ta' aruf, di antara auku-suku bangsa dan kabilah-kabilah itu - QS al-Hujurat: 13), dan kerjasama serta sinergi yang produktif, mencegah kecenderungan agresi, dan mendukung manajemen pengembangan kemajuan masyarakat.
Baca Juga: Tulisan HUT Kemerdekaan Indonesia: Ingin Bebas Dari Rutinitas Nine to Five
Di dalam Al-Quran pun, Allah mengajarkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim mendoakan negerinya secara khusus, “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini aman sentosa ..." (QS 2: 126).
Ini adalah nash/teks Qur'ani yang mengajarkan teladan tentang kecintaan kepada negeri.
Nabi Muhammad saw pun pernah bersabda mengenai negeri kelahirannya, "Sungguh kau, wahai Mekkah, adalah negeri yang paling kucintai. Andai pendudukmu tak mengusirku, aku takkan meninggalkanmu.”
Sampai-sampai dalam al-Qur'an direkam doa beliau saw untuk negeri Makkah (atau Jazirah Arab) yang dicintainya itu.
Lalu, lupakah kita akan kerinduan Nabi kepada Makkah, yang sampai-sampai disebut Allah Swt sebagai latar bagi pemindahan kiblat dari Masjidil Aqsha di Yerusalem ke kota kelahiran Nabi itu? (QS al-Baqarah: 144)
Baca Juga: Denny JA: Soal Korupsi di Sektor Publik, Peringkat Indonesia Lebih Buruk dari Rata-rata Dunia
Yang harus dihindari adalah chauvinisme atau jingoisme yang didorong ego
kelompok hingga mengabaikan atau malah melanggar kelompok hak kelompok lain.
Mukadimah Konstitusi kita dengan bijak menyebut Persatuan Indonesia - yang merupakan istilah/konsep malah lebih pas ketimbang nasionalisme - dan, dalam satu napas, menyatakan: "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”.
Inilah yang dalam Pancasila diungkapkan dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, mendahului sila Persatuan Indonesia.
Di sini gagasan negara-bangsa dan nasionalisme bertemu kemanusiaan universal (rahmatan lil 'alamin).
Baca Juga: Sutardji Calzoum Bachri dan Para Penyair Lain Menggebrak dengan Puisinya di Webinar Satupena
Inilah nasionalisme yang benar. Prinsip ini, pada gilirannya, mengambil bentuk partisipasi dalam organisasi-organisasi internasional dan ketaatan pada aturan-aturan kerjasama antarnegara secara adil dan bermartabat.
Persoalan lainnya yang muncul adalah, haruskah sebuah negara terdiri dari satu agama saja, dan diatur oleh hukum agama itu saja?
Piagam Madinah susunan Nabi saw memperlihatkan sebaliknya. Ia adalah konstitusi yang mengatur koeksistensi dan kerjasama damai penduduk Madinah dari berbagai suku dan agama dalam ikatan aturan universal yang disepakati bersama.
Maka, mari syukuri anugrah NKRI, yang pluralistik, serta memiliki Pancasila dan Konstitusi yang saksama dan dihuni oleh penduduk yang berbudaya.
Baca Juga: Jack Miller Pilih Nge Camp Bersama Si Nyonya Jelang Balap MotoGP Austria 2022
Mari berjihad mempertahankan NKRI dari siapa saja yang akan merusak keharmonisan dan keberagaman masyarakat dan budayanya, dalam sinaran agama - yang oleh Nabi saw sendiri dinyatakan - sebagai seharusnya bersifat lempang dan jembar (hanifiah samhah).
WalLah al-Musta'an.
Jakarta, 17 Agustus 2022***