UU Kesehatan Lahir: IDI Tidak Sekuat Dulu, Dokter Bernapas Lega
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 16 Juli 2023 08:05 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Undang-Undang Kesehatan akhirnya disahkan oleh DPR dan disambut gembira banyak pihak. Salah satu hal yang paling ramai dibicarakan adalah hilangnya hak dan kekuasaan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dalam dunia kedokteran Indonesia.
Selama ini IDI adalah organisasi profesi kedokteran tunggal yang punya otoritas luar biasa.
IDI bisa menentukan nasib para dokter dan dokter dokter spesialis, dan tak ada organisasi profesi sekuat IDI di Indonesia.
Baca Juga: Hujan Kartu Merah Warnai Kemenangan Bali United atas Madura United di Pekan ke 3 BRI Liga 1
Di dalam dunia advokat, ada lebih dari delapan organisasi advokat, termasuk IKADIN, PERADI, AAI, IPHI, HAPI, dan lain-lain.
Untuk bisa praktek di Indonesia, seorang advokat memang harus menjadi anggota organisasi advokat tertentu. Tapi tidak ditetapkan organisasi advokat yang mana.
Sama halnya di dalam dunia wartawan, ada PWI, AJI, IJTI, dan sebagainya. Memang Dewan Pers hanya mengakui delapan organisasi wartawan. Tapi PWI misalnya tak punya ororitas lebih dibandingkan organisasi-organisasi kecil yang lebih terkenal.
Seorang wartawan bisa saja tidak menjadi anggota organisasi jurnalis tertentu, dan tetap bisa bekerja sebagai wartawan.
Baca Juga: Ramadhan Sananta Bawa Persis Solo Raih Kemenangan Perdana Atas Borneo FC di Pekan Ketiga BRI Liga 1
Nih, contoh lagi, PGRI memang yang paling terkenal, di profesi guru. Tapi juga ada Ikatan Guru Indonesia, Persatuan Guru Seluruh Indonesia, dan seterusnya.
Jadi selama ini cuma dunia kedokteran yang punya organisasi profesi tunggal yang memiliki otoritas besar dalam menentukan nasib dokter. Di dalam dunia kedokteran, IDI memiliki kekuasaan besar karena merekalah yang menentukan bisa tidaknya seorang dokter berpraktek.
Seorang dokter bisa saja punya keahlian luar biasa, tapi kalau dia tak memiliki Surat Izin Praktek, keahlian dia tidak bisa diterapkan.
SIP ini memang dikeluarkan pemerintah daerah. Tapi SIP baru bisa dikeluarkan kalau ada rekomendasi dari IDI. Tanpa rekomendasi IDI, tak mungkin seorang dokter berpraktek.
Dan inilah yang menjadi salah satu sumber masalah di Indonesia. Ikatan profesi dokter sebenarnya bukan hal yang buruk. IDI bisa berfungsi sebagai lembaga yang mengawasi kualitas para dokter.
Sebagai organisasi profesi, IDI bisa menjadi lembaga yang menjaga profesionalisme kedokteran. IDI juga bisa berperan untuk turut mendorong peningkatan kualitas dokter.
Tapi yang terjadi di Indonesia, tidak ideal seperti itu. Ya, mungkin karena merasa dirinya adalah organisasi tunggal, IDI terkesan dengan sengaja mempersulit orang yang menjadi dokter.
Untuk memperoleh Surat Izin Praktek saja, seorang dokter itu harus bersusah payah mengikuti seminar demi seminar, penelitian dan kegiatan pengabdian masyarakat. Biayanya untuk semua kegiatan itu kan tidak kecil.
Baca Juga: Nama Juan Mata eks Manchester United Kembali Viral, Ternyata Ini Penyebabnya
Bagi dokter yang tinggal di Jakarta masih lumayan. Tapi bagi mereka yang tinggal di daerah jauh di luar Jakarta atau kota-kota besar, ini bisa sangat sulit. Mereka itu harus terbang dari kotanya ke tempat penyelengaraan seminar.
Mereka harus rela mengeluarkan uang untuk membeli tiket pesawat, biaya hotel dan akomodasi lainnya.
Nah, begitu juga soal dokter spesialis. Para dokter junior dalam rangka memperoleh spesialis, harus mendampingi dokter senior di bidang tertentu. Celakanya, banyak dokter senior yang senang membully dan memperuslit dokter-dokter junior itu.
Sang junior sulit untuk melawan karena dia membutuhkan rekomendasi dari dokter seniornya.
Juga ada banyak cerita tentang bagaimana dokter, apalagi dokter spesialis, yang belajar di luar negeri menghadapi banyak kesulitan waktu hendak praktek di Indonesia.
Seorang dokter spesialis harus menjalani proses adaptasi dulu di berbagai dearah selama dua tahun sebelum akhirnya boleh praktek. Memang alasan yang dikemukakan adalah untuk melakukan pemerataan dokter spesialis.
Tapi kerumitan ini membuat banyak dokter spesialis yang sebenarnya sangat dibutuhkan tak mau praktek di Indonesia.
Melalui UU Kesehatan ini, proses menjadi dokter spesialis akan dikembalikan ke negara dan dibuat lebih transparan. Kalau ini bisa diwujudkan, bukan saja jumlah dokter spesialis akan meningkat, tapi animo dokter untuk menjadi spesialis pun diharapkan juga tumbuh.
Indonesia tak akan lagi kekurangan dokter spesialis. Jadi, UU Kesehatan rasanya memang akan membawa dampak positif buat dunia kesehatan Indonesia.
IDI harus berjiwa besar bahwa mereka tidak lagi menjadi organisasi tunggal yang powerful di Indonesia.
Mereka tetap bisa menjadi asosiasi profesi yang berfungsi meningkatkan kualitas dan martabat dokter di Indonesia. Tapi sekarang mereka tak lagi menjadi sebuah lembaga powerful yang menentukan nasib para dokter.***