Syaefudin Simon: Malinda Dee dan Saida Saini
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 15 April 2023 16:40 WIB

Jika seseorang berubah sistem sel sarafnya, maka orang tersebut secara praktis sebetulnya telah berubah menjadi orang lain. Jika manusia bisa berubah menjadi orang lain hanya karena perubahan sel sarafnya, lantas apa arti jati diri dan identitas manusia? Nothing.
Pembunuh ketiga adalah Michel Foucault, seorang filsuf strukturalisme. Menurut Foucault, manusia sebetulnya tidak bebas karena ia selalu terkungkung dengan berbagai faktor yang ada dalam lingkungan hidupnya.
Foucault menyatakan, umat manusia tengah berada di ujung kematiannya. Ini terjadi karena manusia telah kehilangan tempatnya yang sentral dalam struktur sosial dan budayanya.
Di lihat dari filsafat strukturalisme, manusia hakikatnya telah mati karena manusia tidak punya kesadaran untuk membangun karakter dan perilaku hidupnya secara mandiri.
Dari gambaran itulah mungkin kita bisa memahami perilaku Inong yang telah “mentransendensikan” dirinya dari seorang gadis lugu yang hidup di kompleks perumahan sederhana menjadi seorang sosialita yang hidup di blok apartemen mewah lengkap dengan simbol-simbol hedonisme metropolisnya.
Sebagaimana halnya Saida yang telah menjadi korban mimpi-mimpinya, Inong pun telah menjadi korban mimpi-mimpinya – meski keduanya hidup dalam rentang waktu yang amat berbeda.
Inong mati karena dibunuh Freud, Golgi, dan Foucault. Ironisnya, secara tidak sadar kita senang mengikuti gaya hidup sang legenda itu.
Lalu, salahkah jika orang menyukai kisah legenda Inong? Entahlah. Yang jelas, kita memang sering lupa bahwa “kesenangan” tersebut suatu ketika bisa merasuki diri kita, dan kita terjebak dalam lakon yang sama seperti Inong. Juga Saida Saini.
Baca Juga: Data Berbagai Penampakan UFO yang Misterius di Indonesia