Syaefudin Simon: Malinda Dee dan Saida Saini
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 15 April 2023 16:40 WIB
Jika Saida di ujung hidupnya harus mencebur ke dalam sungai karena menjadi buaya, Inong di “penghujung” hidupnya harus mendekam dalam penjara yang pengap. Jika Saida fisiknya menjadi buaya, tapi jiwanya tetap manusia, maka Inong sebaliknya. Fisiknya tetap Inong tapi jiwanya menjadi “buaya”.
Apa yang dilakukan Saida dan Inong sebenarnya hampir sama, kecuali prosesnya. Saida menjadi kaya dan terkenal karena jebakan mistisisme lokal abad 16 sehingga kepribadiannya menjadi buaya.
Yang kedua, melalui jebakan mistisisme global abad 21, Inong menjadi Dee, sebuah transformasi nama yang megikat dirinya dengan komunitas Ferrari yang mewah dan mahal di kota metropolitan Jakarta.
Dee bukan sekadar deretan huruf pada nomor plat polisi Ferrari milik Inong, tapi juga sebuah identitas ‘spiritual hedonism’ dalam komunitas the haves metropolis.
Baca Juga: Dikunjungi Pengurus DPN PKP Hasil Munaslub 2023, Try Sutrisno Beri Arahan Begini
Sayangnya, di “ujung” kehidupannya Dee terpaksa harus tinggal dalam penjara yang memisahkan dirinya secara ekstrim dari kemewahan yang selalu mengiringnya.
Lalu, salahkah jika Inong bermimpi jadi orang kaya dan terkenal di tengah kehidupan metropolis abad 21? Tidak! Begitu pula Saida yang ingin kaya dan terkenal di tengah kehidupan dusun abad 16.
Yang salah, kehidupan bak mimpi itu diraihnya dengan proses yang ilegal dan irasional. Akibatnya, mereka pun mendapatkan tempat yang tidak semestinya yang tidak sesuai dengan harkat kemanusiaannya.
Saida, dalam legenda rakyat, hidup di sungai sebagai buaya, sedangkan Inong yang hidup bagai legenda, harus tinggal di penjara sebagai terpidana.
Baca Juga: Usai Dikritik Bima Yudho dan Viral di Media Sosial, Pemerintah Lampung Gercep Ngaspalin Jalan