Tiga Tikungan Jokowi di Pilpres 2024 dan Taruhan Masa Depan Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 19 Agustus 2023 09:25 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Indonesia punya kesempatan jadi negara maju. Kesempatan cuma satu kali seumur hidup sebagai bangsa (bonus demografi).
Tapi sumber daya alam dan sumber daya manusia lambat memajukan bangsa, karena tidak pas pengelolaan. Banyak sumbatan yang menghalangi Indonesia.
Pertama, interkoneksi antar daerah. Sering disebut biaya logistik mahal. Akibatnya produk Indonesia tidak kompetitif. Lebih murah impor. Sentra ekonomi tidak bisa keluar dari Jawa.
Baca Juga: Pasca 5 September 2023, Ganjar Bisa Gas Pol dan Menyalip Elektabilitas Prabowo
Kedua, sedikitnya dana pembangunan. Terlalu banyak subsidi BBM dan energi. Akibatnya, seindah apapun visi misi, tidak ada kemampuan eksekusi.
Ketiga, birokrasi yang lamban. Apa saja yang dicanangkan, lama atau meleset mutu eksekusinya. Terpatri budaya ABS (asal bapak senang).
Keempat, ketimpangan antar daerah. Banyak berita kemajuan, tapi dinanti tidak kunjung sampai ke perbatasan.
Empat hal ini disolusi Jokowi dengan mengurangi subsidi BBM drastis, membangun interkoneksi Indonesia, darat laut dan udara. Pembangunan "Indonesia sentris" menjangkau hingga pelosok, terluar, termiskin.
Kelambanan birokrasi, disolusi semua proyek strategis nasional (PSN) dikunjungi Jokowi terus menerus. Saat pembangunan dimulai, saat sedang dibangun, saat akan hampir selesai, dikunjungi terus. Tak terbilang daerah yang dikunjungi.
Baca Juga: Prediksi Skor Liga Inggris, Tottenham Hotspur vs Manchester United di Pekan ke 2 Malam Ini WIB
Jokowi sadar Indonesia emas, juga ditentukan penerusnya. Untuk mendapat Presiden ke-8 yang kapasitasnya sesuai tantangan Indonesia, Jokowi perlu melewati tiga tikungan.
Tikungan pertama, capres dari PDI Perjuangan haruslah yang sudah berpengalaman dan mampu mengelola birokrasi. Jokowi pidatokan agar capres PDI Perjuangan sebaiknya “si rambut putih”. Berhasil.
Tikungan kedua, menghindari risiko poltik identitas dan kepastian rencana besar Indonesia berlanjut, Ganjar dan Prabowo sebaiknya menyatu. Dua duanya, dinaikkan ke pentas “top mind” rakyat Indonesia. Hadir di berbagai kegiatan Jokowi. Berhasil.
Namun jika Ganjar dan Prabowo tidak bisa disatukan, tentu Jokowi perlu tikungan ketiga, yaitu mereferensikan yang bisa “lari marathon”. Rakyat harus teliti rekam jejak tiap capres. Jangan mengandalkan citra!
Presiden Indonesia ke-8, harus punya keberanian membuat keputusan besar bagi bangsa, punya bukti jejak prestasi, dan biasa turun “cek ricek” apa yang dicanangkan.
Presiden ke-8 “pelari marathon” artinya punya keteguhan, stamina dan gaya kepemimpinan lapangan (cek progres kerja di lokasi, bukan infokus + powerpoint).
Ganjar Pranowo telah mempraktikkan kepemimpinan Jokowi ini di Jawa Tengah. Gubernur terbaik dari hampir semua komponen pemerintahan daerah: anti korupsi, penurunan stunting, infrastruktur, UMKM, start up, nelayan, petani, SMK untuk memutus kemiskinan, birokrasi melayani, laporgub! dan lainnya.
Prabowo jelas sudah terbukti tidak memenuhi standar kepemimpinan yang dibutuhkan Jokowi. Satu contoh, Food estate tidak pernah dikunjungi setelah diresmikan, hingga mangkrak. Sangat dibutuh untuk ketahanan pangan.
Membeli pesawat tempur bekas yang tidak sejalan dengan citra Indonesia modern (kereta cepat, LRT, MRT). Dan untuk banyak tinjau ke lapangan, sepertinya stamina juga sudah tidak mendukung.
“Jangan pilih pemimpin yang (lebih banyak) diam di Istana ber-AC”, demikian Jokowi.
(KIBAR INDONESIA) ***