DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Agusto Sulistio: Langkah Politik Keluarga Jokowi dan Potensi Terjadinya Dominasi Kekuasaan Partai

image
Presiden Jokowi bersama anggota keluarga.

Oleh: Agusto Sulistio - Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed.

ORBITINDONESIA.COM - Dominasi kekuasaan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tidak hanya melalui kekuasaan presiden yang berkepanjangan, tetapi juga melalui dominasi partai politik.

Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, di mana rezim pemerintahan Presiden Soeharto, sejak tahun 1966 hingga 1998 berkuasa secara absolut yang berkembang saat itu melalui beberapa mekanisme dan tindakan yang kompleks.

Ada 5 hal yang menyebabkan dominasi kekuasaan Soeharto dan Partai Golongan Karya (Golkar) saat itu menjadi absolut, antara lain oleh adanya pemberian mandat yang luas, setelah mengambilan alih kekuasaan dalam sebuah kudeta militer pada tahun 1966.

Baca Juga: Buah Jeruk, Limau, Lemon adalah Sumber Potasium Terbaik

Konsep Dwifungsi ABRI yang memberikan peran politik kepada ABRI dalam pemerintahan selain tugas-tugas militer, yang mengakibatkan TNI  mengawasi dan mengintervensi politik dalam skala yang besar.

Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kendaraan politik utama Soeharto diciptakan untuk mendominasi dalam setiap pemilihan elektoral, serta memaksa partai-partai politik lain untuk beroperasi dalam kerangka yang ditentukan oleh pemerintah, yang membatasi persaingan politik yang sehat.

Rezim Pemerintah Orde Baru saat itu pun secara ketat mengendalikan media massa, dan hanya media yang mendukung pemerintah yang diizinkan beroperasi, sementara media yang kritis dibatasi, ditutup atau dibredel.

Kekuasaan presiden dalam memegang kendali atas aparat keamanan yang kuat, TNI termasuk polisi dan badan intelijen. Hal ini memungkinkannya untuk memantau dan mengendalikan potensi oposisi politik.

Baca Juga: Perjuangan Christopher Reeve Memperoleh Peran Superman

Tak berhenti disitu, kekuasaan orde baru juga melakukan praktek klienelisme dan nepotisme dengan mempromosikan orang-orang yang setia kepadanya ke posisi-posisi kunci dalam pemerintahan, TNI dan Polri.

Serta adanya praktik pembungkaman oleh kekuasaan Orba terhadap posisi politik, aktivis hak asasi manusia, dan organisasi masyarakat sipil yang mengkritik rezim Orde Baru seringkali ditekan, dipenjara, atau diasingkan.

Dan yang paling kontroversial dan menyorot perhatian adalah penyelenggaraan Pemilihan Presiden yang secara berulang-ulang menjadikan Soeharto sebagai pemenangnya. Pilpres yang dikontrol oleh rezimnya sendiri memastikan dominasinya atas kekuasaan eksekutif.

Dominasi kekuasaan yang terjadi di Orde Baru pun berpotensi terjadi di Era Reformasi yang saat ini tengah kita lalui bersama. Reformasi yang melahirkan perubahan fundamental pada konstitusi salah satunya soal pembatasan kekuasaan Presiden yang hanya dapat menjabat selama dua periode berturut-turut, yang membatasi masa jabatan presiden menjadi maksimal 10 tahun.

Baca Juga: Profil Seohyun, Pemeran Nam Hee Shin Dalam Drakor Song of The Bandits, Artis yang Juga Anggota Grup SNSD

Namun hal tersebut menyisakan celah terjadinya dominasi kekuasaan disektor lain, yakni partai politik. Terkait ini belum ada UU yang mengatur secara rinci jalannya kekuasaan partai politik agar tak mengarah kepada dominasi kukuasaan yang

Presiden dapat berganti maksimal dua periode, namun Parpol masih bisa melanjutkan kekuasaannya dengan mengusung kandidat Capres kembali dalam pilpres selanjutnya.

Dengan demikian tidak ada batasan waktu untuk berapa lama sebuah partai politik bisa berkuasa. Partai yang memenangkan pemilihan umum dapat terus berkuasa selama mereka mempertahankan dukungan elektoral. Oleh karena itu, partai penguasa dapat mempertahankan kekuasaan selama mereka terus memenangkan pemilu.

Dengan kata lain, Reformasi politik di Indonesia mengenai masa jabatan presiden bertujuan untuk mencegah dominasi seorang pemimpin tunggal untuk waktu yang lama, sementara partai politik masih memiliki kesempatan untuk terus berkuasa selama mereka mendapatkan dukungan rakyat melalui pemilihan umum.

Baca Juga: Dr Abdul Aziz: Narkoba dan Syariah

Meskipun batasan masa jabatan presiden diterapkan, partai politik tetap memiliki peluang untuk mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan.

PDIP dan Koalisi Berpotensi Mendominasi Kekuasaan

PDIP bersama partai koalisinya telah memenangkan pemilihan presiden ditahun 2014 dengan mengusung Ir. Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sebagai Presiden dan Wapres RI periode 2014 - 2019.

Kekuasaan PDIP dan koalisinya terus berlanjut hingga tahun 2024 mendatang, setelah Partai besutan Megawati Soekarnoputri berhasil membawa kembali Jokowi sebagai Presiden RI dan KH. Maruf Amin sebagai Wapresnya pada pilpres 2019 lalu.

Aspek penting dalam dinamika politik Indonesia yang perlu diperhatikan dalam konteks potensi dominasi kekuasaan adalah partai politik seperti PDIP dapat mempertahankan kekuasaan dalam kerangka demokrasi meskipun ada batasan masa jabatan presiden hanya dua periode.

Baca Juga: Dari 20 Dipangkas Jadi 9 Episode Drakor Song of The Bandits Menuai Beragam Komentar Netizen: Padahal Seru

PDIP dan partai koalisinya dapat mempertahankan kekuasaannya dengan cara merotasi kepemimpinan. Meskipun presiden hanya dapat menjabat dua periode berturut-turut, partai politik dapat melakukan rotasi kepemimpinan dengan mengusung calon presiden baru yang dipilih untuk memenangkan pemilihan umum.

Ini memungkinkan partai untuk terus memegang kendali atas pemerintahan selama mereka memiliki popularitas yang cukup untuk memenangkan pemilihan.

Partai politik yang mendukung presiden yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan masa jabatannya untuk memperkuat kekuasaan dan membangun dukungan politik. Ini dapat mencakup mengisi jabatan penting di pemerintahan dengan kader-kader partai dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah sejalan dengan visi partai.

Dalam pemilihan umum legislatif, partai politik juga memiliki kesempatan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan mereka.

Baca Juga: Keanu Reeves dan Alexandra Grant Akhirnya Buka Suara tentang Hubungan Mereka

Jika partai-partai yang mendukung presiden memenangkan mayoritas di parlemen, mereka dapat memfasilitasi kebijakan dan agenda pemerintah yang sesuai dengan visi mereka.

Pemilihan kepala daerah, seperti gubernur dan bupati, juga penting dalam dinamika politik. Partai politik dapat menggunakan kendali mereka atas daerah-daerah tertentu untuk membangun basis dukungan yang kuat.

Akhirnya, popularitas dan kinerja pemerintah juga memainkan peran kunci dalam apakah partai politik akan memenangkan pemilihan berikutnya. Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dan pencapaian dalam berbagai bidang akan mempengaruhi hasil pemilihan.

Agar tidak terjadi dominasi kekuasaan yang berkepanjangan maka menjadi penting untuk memastikan proses pemilihan berlangsung secara adil dan transparan, dan bahwa partai-partai politik yang berkompetisi memiliki akses yang sama ke media dan sumber daya untuk memastikan demokrasi yang sehat.

Baca Juga: Berikut Profil Suwon FC, Klub Sepakbola Korea Selatan yang Segera Pinang Pratama Arhan

Dalam hal ini, peran masyarakat sipil, media independen, dan lembaga pengawas pemilihan yang kuat sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah dominasi yang merugikan dalam politik.

Arah Politik Kekuasaan Keluarga Jokowi

Terlepas dari kepekaan dan kemampuan Jokowi dalam melihat peluang politik jelang Pilpres 2024, langkah Presiden ini sangat penting untuk diperhatikan agar cawe cawe presiden atas jalannya pemilihan presiden dipastikan tidak terjadi, sehingga terjamin kenetralannya.

Perlu dijadikan isu strategis motivasi di balik tindakan politik individu atau kelompok, dalam hal ini Jokowi dan keluarganya dalam memainkan kekuasaannya.

Masuknya putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep ke Partai PSI (Partai Solidaritas Indonesia) beberapa hari lalu perlu terus dikritisi dan disorot, sebab langkah politik putra Presiden dapat diinterpretasikan beragam, meski akhirnya semua tergantung pada niat dan tujuannya.

Baca Juga: Beberapa Judul Drama yang Ditunggu Season kedua, dari Drakor Sweet Home sampai Extraordinary Attorney Woo

Dalam perspektif demokrasi tentu pilihan politik Kaesang bergabung ke PSI bukan hal yang tabu. Namun jika dikaitkan dengan semangat reformasi yang membatasi kekuasaan absolut, maka bisa saja langkah Kaesang dapat diinterpretasikan  bertentangan dengan semangat reformasi yang berkomitmen memberantas KKN dan kekuasaan absolut.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan Kaesang dengan Ayahnya yakni Joko Widodo yang kini masih menjabat sebagai Presiden RI. Sebab pandangan publik secara umum akan melihat Kaesang sebagai bagian dari hubungan keluarga dalam hal ini putra dari anak nomer satu Indonesia.

Namun hal tersebut dapat menjadi nilai positif jika niat Kaesang  bergabung dan menjadi Kertua Umum PSI adalah untuk mendukung demokrasi yang sehat dan berkontribusi pada persaingan politik yang lebih seimbang, maka ini dapat dianggap sebagai langkah positif. Ini menunjukkan keinginan untuk memperkaya spektrum politik dengan ide-ide baru dan alternatif.

Sebaliknya akan dinilai negatif jika ada indikasi bahwa tujuannya adalah melanggengkan dominasi kekuasaan PDIP  dan koalisinya, atau untuk kepentingan politik tertentu yang merugikan prinsip-prinsip demokrasi, maka ini dapat dianggap sebagai langkah yang meragukan.

Baca Juga: Jurnalis Dukung GARAMIN NTT Publikasikan Kaum Disabilitas

Karena itu diperlukan upaya  menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam politik, sehingga tindakan politik dapat dinilai berdasarkan fakta dan tujuan yang jelas.

Selain itu, partai politik dan pemimpin politik harus tetap terhubung dengan aspirasi rakyat dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara luas, tanpa membatasi dominasi berkepanjangan dari satu kelompok atau partai tertentu.

Demokrasi yang sehat memerlukan sistem dengan persaingan politik yang seimbang di antara partai-partai politik, karenanya peran dan langkah politik keluarga Jokowi sangat diperlukan dengan mengedepankan tujuan reformasi, membentuk pemerintahan yang terbebas dari KKN dan menghilangkan dominasi kekuasaan presiden dan partai yang berkepanjangan.

Kalibata, Jakarta, 27 September 2023. ***

Berita Terkait