Wina Armada Sukardi: Pemilihan Ketua Iluni
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 16 Agustus 2022 06:54 WIB
Oleh: Wina Armada Sukardi, lulusan FHUI angkatan 1978 dan pernah jadi pengurus Iluni FHUI dan Iluni UI. Pernah menjadi pimpinan sidang pemilihan ketua Iluni.
ORBITINDONESIA - Kalau sobat lulusan Universitas Indonesia (UI), tetapi bukan orang kaya, setidaknya orang yang taraf kesejahteraannya tidak lebih dari berkecukupan, jangan harap sobat dapat menjadi ketua Ikatan Alumni UI (Iluni). Jangankan menjadi ketuanya, mencalonkan diri saja, hampir tidak mungkin.
Kenapa rupanya? Kini untuk mencalonkan diri sebagai ketua Iluni 2022 -2025, Anda diminta untuk memberikan setoran wajib ke panitia pemilihan sebesar Rp 50 juta.
Baca Juga: Nasihat Hikmah – Bersihkan Hatimu dari Kebencian, Agar Kebahagiaan Mengisinya
Tak jelas, apalah duit itu bakal dipakai untuk biaya pemilihan atau keperluan lain. Pokoknya calon yang gak punya duit segitu, atau tidak mampu mengumpulkan dana sebesar itu, silahkan pinggir alias out.
Uang Jaminan
Itu belum cukup. Sang calon harus menambah lagi Rp 100 juta. Duit ini sebagai “jaminan” agar calon yang sudah mendaftar, tidak bakalan mengundurkan diri. Kalau si calon ketua mengundurkan diri, duitnya dianggap lenyap.
Nah, duit yang hilang itu tak jelas pula akan dipakai untuk apa? Adakah untuk menambah biaya penyelenggaraan ataukah untuk dibagi-bagikan ke panitia. Tak jelas, setidaknya tak diumumkan ke warga UI.
Baca Juga: Anne Frank dan Kisah Pengkhianat Keluarga Frank yang Diragukan
Ini terkait dengan sistem, jika peserta tidak mengundur diri, uangnya yang Rp 100 juta dikembalikan ke sang calon.
Artinya, secara finansial, sesungguhnya panitia sudah berkecukupan, sehingga uang Rp 100 juta dari calon ketua yang mengundurkan diri menjadi tidak jelas buat apa.
Kewajiban calon ketua umum Iluni menyetor uang membuat Iluni UI menjadi sangat eksklusif, komersial dan jauh dari populis. Peraturan ini mengajarkan kepada para Iluni untuk melihat segala sesuatu dari aspek uang dalam pengertian sudut yang sempit.
Kalo loe gak punya duit, loe jangan coba mencalonkan diri.Harga ketua Iluni itu mahal lho. Kesan seperti itu tak dapat dihindari.
Baca Juga: Liga Italia 2022/2023: Pelatih Juventus Sebut Persaingan Sulit, Ada AC Milan dan Inter Milan
Mengkomersilkan Jabatan
Dengan demikian, sejak awal, UI sudah mensosialisasi untuk mendapatkan jabatan harus mengeluarkan duit gede. Ini tentu menjadi perdebatan kontraversial.
Seharusnya kan penyelenggara yang menanggung biayanya. Ketua Iluni ditanggung oleh panitia, bukan oleh bakal calon. Apalagi kalau panitia juga sudah mencari sponsor dan sumbangan dari sana-sini.
Seharusnya panitialah yang wajib melayani para calon ketua Iluni dengan sebaik-baiknya, bukan para calon yang justru “diperas.”
Jika faktanya, panitia pemilihan tak sanggup, karena tak punya cukup dana, ajak para calon ketua berembuk bagaimana mengatasi persoalan itu. Dengan kesepakatan bersama dan diketahui bersama pula, dapat dicari duit dari sumber-sumber yang tidak mengikat.
Baca Juga: PSSI Tunggu Jawaban FIFA Terkait Stadion Gelora Bung Tomo untuk Piala Dunia U20 2023
Adapun apabila panitia yang mengutip dana atau fasilitas dari sponsor atau pihak ketiga, nantinya tak jelas bertanggung jawab kepada siapa, jika ada masalah, terutama dari aspek finansial.
Selain itu ketentuan yang mewajibkan calon ketua menyetor duit besar, cenderung mengajarkan alumi untuk mengkomersialkan jabatannya. Ini berbahaya dan tidak memberikan edukasi yang baik buat masyarakat umum.
UI sebagai universitas top kok mengajarkan agar para pemimpin “membeli tiket” untuk ikut bertarung. Harga tiket itu wajarlah jika kemudian dicari konpensasinya. Ini membuka celah untuk pimpinan mengambil tindakan tercela.
Tak heran dari empat kandidat yang ikut memperebutkan ketua Iluni, tiga diantaranya pengusaha yang kebetulan koceknya gemuk. Sedangkan yang seorang walaupun bukan pengusaha tetapi juga memiliki pundi-pundi cukup besar.
Baca Juga: Piala Dunia U20 2023: Stadion Gelora Bung Tomo Tak Layak, PSSI Beri Tanggapan Ini
Jadi Sobat yang kantongnya pas-pasan, apalagi yang tipis, jangan berharap dapat menjadi ketua Iluni. Betapapun Anda hebat, memiliki leadership kuat dan banyak pengikut dan pendukungnya.
Ini sistem pemilihan super kapitalis: hanya orang kaya yang dapat jadi pemimpin. Si miskin silahkan bermimpi saja…
E-vote
Itu yang pertama. Selanjutnya soal pemilihan langsung melalui e-vote. Kebetulan sejarah mencatat, saya salah satu dari mereka yang meletakkan dasar-dasar pemilihan langsung e-vote. One man one vote.
Sebelumnya pemilihan ketua iluni baik tingkat fakultas maupun tingkat universitas, masih memakai cara “tradisional.” Para pemilih diminta datang ke tampat pemilihan dan melakukan pemilihan di Tempat Bilik Suara.
Baca Juga: Hasil Liga 1: RANS Nusantara FC Takluk Atas PSM Makassar, Gol Telat Everton Jadi Penentu
Langsung di bilik-bilik yang disediakan panitia di lokasi. Jangan bayangkan biliknya ada di mana-mana seperti Pemilu. Bilik hanya ada di Munas di kampus.
Sistem seperti ini tidak efektif dan tidak efisien. Para pemilih harus datang sendiri ke Tempat Pemugutan Suara (TPS) yang cuma satu. Padahal sebagian pemilih tidak berada ada di tempat dan tidak dapat datang ke TPS.
Akhirnya hanya sebagian kecil saja yang dapat ikut pemilihan. Dengan kata lain, tidak partisipatif. Kurang demokrastis.
Dari pengalaman kalau ada calon yang dapat membawa “rombongan” lebih banyak ke TPS dialah yang akan menang.
Baca Juga: Mengajak Anak Berpetualang dengan Buku
Sistem pemilihan ini juga mahal. Peserta yang berada di daerah atau di luar negeri kalau mau ikut memilih harus lebih dahulu berangkat ke TPS. Tentu kedatangan itu memerlukan ongkos transportasi yang tidak murah.
Belum lagi yang jauh tidak dapat bolak-balik. Daripada ribet, banyak yang memutuskan tidak ikut pemilihan.
Saya dan kawan-kawan lantas berpikir, bagaimana memudahkan sistem pemilihan: lebih demokratis, lebih partisipatif dan lebih efektif serta efisien. Pilihan jatuh dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. E-vote.
Harus Ada Persetujuan Bersama
Pemilih di seluruh penjuru jagat dunia, selama dia alumni UI, dapat ikut memilih. Cukup lewat komputer atau HP.
Baca Juga: Thomas Tuchel Terancam Denda Usai Kritik dan Menyudutkan Wasit Anthony Taylor
Waktu itu masih ada yang protes, nanti Munasnya tidak ramai dan kurang semarak. Dari sana disepakatilah tetap ada “bilik” pemilihan di lokasi Munas. Jadi siapapun lulusan UI yang mau datang silakan. Boleh memilih disitu. Tentu dengan mekanisme E-vote juga.
Persoalan tak berhenti sampai disitu. Pemanfaatan teknologi modern untuk pemilihan rentan disalahgunakan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Jika tidak diawasi, manipulasi suara dapt terjadi dengan mulus. Apa jalan keluarnya?
Disepakatilah bahwa vendor pelaksanaan harus disetujui bersama panitia dan seluruh kubu kandidat. Berdasarkan pengalaman, vendor hanya mau tunduk kepada pihak yang memesannya.
Para kandidat yang tidak dilibatkan dalam penentuan vendor, tak didengar suaranya oleh vendor.
Baca Juga: Faktor Usia Jadi Alasan Fans Manchester United Tolak Kepindahan Marko Arnautovic, Apa Kabar Ronaldo?
Walaupun mungkin ditemukan kekurangan yang mencolok, vendor tak akan mau mengubahnya tanpa izin yang mengontrak atau memesannya.
Maka terlalu riskan jika vendor ditentukan sepihak hanya oleh panitia. Apalagi dalam unsur panitia ada jejak salah satu kandidat.
Bagaimana maksudnya? Misalnya, panitia pemilihan itu dibentuk oleh pengurus Iluni. Nah, kalau ada pengurus inti yang juga menjadi kandidat, tanpa mengurangi hormat kepada siapapun yang mungkin berada pada posisi ini, pastilah ada benturan kepentingan atau conflict of interests.
Guna menghindari intervensi kandidat terhadap vendor, diputuskan vendor harus memperoleh persetujuan bersama antara panitia dan para calon ketua.
Baca Juga: Manchester United Butuh Striker Demi Tambahan Opsi Lini Serang, Pemain Stuttgart Ini Minat Gabung
Harus Ada Wakil Kandidat
Setelah vendor disepakati, berikutnya untuk mekanisme sistem pemilihan melalui e-vote juga harus berdasarkan musyawarah antar panitia dan para calon ketua. Dalam hal ini harus ada wakil para calon ketua dalam tim yang mengurusi IT e-vote.
Ini untuk mencegah adanya saling curiga, dan atau menuai hasil pemilihan yang kontraversial. Dengan adanya wakil para calon ketua di tim IT yang menangani e-vote, semua keputusan diambil di antara mereka.
Debat juga dilakukan di antara mereka. Setelah ini dilakukan, apapun hasilnya, siapapun pemenang, sulit untuk diganggu gugat.
Sebaliknya, jika tak ada wakil para calon ketua atawa kandidat, hasilnya dapat sangat kontraversial. Salah satu pihak yang kalah dapat medakwa mereka telah dizholimi. Ini memicu benih perpecahan pengurus Iluni. Juga potensial untuk dibawa ke jalur hijau.
Baca Juga: Bu Tolong Kasih Tahu Tetangga Sekampung, Nih Cara Membersihkan Warna Kuning di Celana Dalam
Siapapun yang kalah atau menang di pengadilan, nama UI sudah lebih dahulu tercoreng.
Tegasnya, penting melibatkan para kubu kandidat dalam semua proses pemilihan. Tanpa itu, dampak negatif sudah mengintip sejak sekarang.
Harus User Friendly
Satu lagi, e-vote sebenarnya didisain agar ada kemudahan pemilihan. Oleh sebab itu sistem e-vote seharusnya user frendly. Para alumni diberikan kemudahan memilih.
Misal ada empat atau lima calon, pemilih tinggal daftar no induk mahasiswa. Lantas cukup centrang atau beri tanda silang pada calon yang dipilihnya. Selesai. Sebegitu mudah.
Inilah yang sejak kami merintis e-vote dari awal sampai kini , sistem yang user frendly belum tercapai
Baca Juga: Semudah ini Cara Menghilangkan Noda Kuning Tanpa Bekas pada Celana Dalam
Sistem yang dipakai untuk e-vote masih ribet. Belum user friendly. Hasilnya, data menunjukkan yang ikut pemilihan mayoritas dari angkatan alumni yang muda. Merekalah yang memang sudah terbiasa dengan teknokogi informasi.
Sementara generasi tua, lantaran gagap teknologi, menjadi sulit berpartisipasi. Di sinilah ke depan harus terus menerus dicari teknologi e-vote yang sederhana, dan mudah dipakai.***