DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Jebakan Utang Sebenarnya: Mayoritas 81 Persen Utang Sri Lanka Justru ke Negara Barat, Bukan China

image
Aksi demonstrasi di Sri Lanka

ORBITINDONESIA - Negara Barat dan media massa ramai-ramai menyalahkan kerusuhan dan krisis ekonomi di Sri Lanka pada “jebakan utang” China. Kenyataannya, sebagian besar utang luar negeri negara Asia Selatan itu justru kepada negara Barat, bukan China.

Hal itu diungkapkan situs mronline.org, 13 Juli 2022. Narasi jebakan utang China yang menipu itu juga telah sepenuhnya dibantah oleh para akademisi arus utama, termasuk peneliti Amerika sendiri.

Soal jebakan utang, berbagai perusahaan Barat dan sekutunya Jepang dan India memiliki 81 persen utang luar negeri Sri Lanka—lebih dari tiga perempat kewajiban internasionalnya. Sebaliknya, China hanya memiliki 10 persen dari utang luar negeri Sri Lanka.

 Baca Juga: Kasus Sri Lanka: Jebakan Utang China Cuma Mitos yang Digemborkan Negara Barat

Menyangkut jebakan utang yang sebenarnya, Sri Lanka memiliki sejarah berjuang dengan beban utang Barat, setelah melalui 16 “program stabilisasi ekonomi” dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang didominasi Washington.

Program penyesuaian struktural ini jelas gagal, mengingat ekonomi Sri Lanka telah dikelola oleh IMF selama beberapa decade, sejak mencapai kemerdekaan dari kolonialisme Inggris pada 1948. Ini artinya sangat kontras dengan Sri Lanka hanya 10% berutang ke China.

Menurut statistik resmi dari Departemen Sumber Daya Eksternal Sri Lanka, pada akhir April 2021, pluralitas utang luar negerinya dimiliki oleh dana dan bank vulture Barat, yang memiliki hampir setengahnya, yaitu 47%.

Pemegang teratas utang pemerintah Sri Lanka, dalam bentuk obligasi negara internasional (ISB), adalah perusahaan-perusahaan Barat berikut.

 Baca Juga: Kanselir Jerman Olaf Scholz Berisiko Dipecat Jika Tidak Menyerah Kepada Presiden Rusia Vladimir Putin

Mereka adalah: BlackRock (AS), Ashmore Group (Inggris), Allianz (Jerman), UBS (Swiss), HSBC (Inggris), JPMorgan Chase (AS), Prudential (AS).

Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, yang sepenuhnya didominasi oleh Amerika Serikat, masing-masing memiliki 13% dan 9% dari utang luar negeri Sri Lanka.

Hegemoni Washington atas Bank Dunia sudah dikenal luas, dan pemerintah AS adalah satu-satunya pemegang saham Grup Bank Dunia dengan hak veto.

Yang kurang banak diketahui adalah bahwa Asian Development Bank (ADB) juga merupakan sarana kekuatan lunak AS.

 Baca Juga: Ivana Trump Menulis Buku Cara Mengatasi Perceraian dan Menikmati Kehidupan Baru

Lembaga pemikir neokonservatif DC yang berbasis di Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang didanai pemerintah Barat, menggambarkan ADB sebagai “aset strategis bagi AS.”

CSIS menganggap ADB sebagai penantang penting bagi Bank Investasi Infrastruktur Asia atau AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) yang dipimpin China.

“Amerika Serikat, melalui keanggotaannya di ADB dan dengan Strategi Indo-Pasifiknya, berupaya bersaing dengan China sebagai mitra keamanan dan ekonomi pilihan di kawasan ini,” sesumbar CSIS.

Negara lain yang memiliki pengaruh signifikan terhadap ADB adalah Jepang, yang juga memiliki 10% utang luar negeri Sri Lanka.

 Baca Juga: Swasembada Makanan Murah dan Sehat

Tambahan 2% dari utang luar negeri Sri Lanka terutang ke India pada April 2021, meskipun jumlah itu terus meningkat sejak itu.

Pada awal 2022, India sebenarnya adalah pemberi pinjaman teratas ke Sri Lanka, dengan New Delhi menyalurkan kredit 550% lebih banyak daripada Beijing antara Januari dan April.

Baik Jepang dan India adalah sekutu utama Barat, dan anggota aliansi militer anti-China yang dipimpin Washington di kawasan itu, Quad.

Bersama-sama, perusahaan-perusahaan Barat ini dan sekutunya Jepang dan India memiliki 81% utang luar negeri Sri Lanka. Tapi China hanya memiliki sepersepuluh dari utang luar negeri Sri Lanka.

 Baca Juga: Simak Prakiraan Harga Minyak Goreng Kemasan di Alfamart 16 Juli 2022

Peran Barat yang luar biasa dalam memberi utang pada Sri Lanka dibuktikan dengan grafik yang diterbitkan oleh Departemen Sumber Daya Eksternal negara tersebut, yang menunjukkan komitmen asing berdasarkan mata uang.

Pada akhir 2019, kurang dari 5% dari utang luar negeri Sri Lanka dalam mata uang China yuan (CNY). Di sisi lain, hampir dua pertiga, 64,6%, berutang dalam dollar AS. Ini bersama dengan tambahan 14,4% dalam hak penarikan khusus (SDR) IMF, dan lebih dari 10% dalam yen Jepang (JPY).

Media Barat yang melaporkan krisis ekonomi di Sri Lanka telah mengabaikan fakta-fakta ini. Media Barat memberikan kesan kuat, dan sangat menyesatkan, bahwa kekacauan itu sebagian besar disebabkan oleh Beijing.

Juli 2022 ini, pemerintah Sri Lanka terpaksa mengundurkan diri, setelah ratusan ribu pengunjuk rasa menyerbu gedung-gedung publik, membakar beberapa, sementara juga menduduki rumah para pemimpin negara itu.

 Baca Juga: Catat, Ini Prakiraan Harga Minyak Goreng Kemasan di Indomaret 16 Juli 2022

Protes didorong oleh tingkat inflasi yang meroket, serta korupsi yang merajalela dan kelangkaan bahan bakar, makanan, dan obat-obatan yang meluas—produk dari ketidakmampuan negara untuk membayar impor.

Pada Mei, Sri Lanka gagal membayar utangnya. Pada Juni, ia mencoba untuk menegosiasikan program penyesuaian struktural lainnya dengan IMF yang didominasi AS. Ini akan menjadi bailout IMF ke-17 di Sri Lanka, tetapi pembicaraan berakhir tanpa kesepakatan.

Pada Juli, Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe secara terbuka mengakui bahwa pemerintahnya “bangkrut.”

 Baca Juga: Banyak Kru Kena Covid 19, Syuting Taxi Driver 2 di Vietnam Ditunda

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya bekerja di AS, mulai menjabat pada 2019 dan segera memberlakukan serangkaian kebijakan ekonomi neoliberal, termasuk pemotongan pajak pada perusahaan.

Kebijakan neoliberal ini menurunkan pendapatan pemerintah. Dan situasi ekonomi yang genting itu hanya diperparah oleh dampak pandemi Covid-19.***

 

Berita Terkait