Ivo Mateus Goncalves: Duit dan Politik Elektoral di Bolivia, Venezuela dan Nikaragua
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 05 September 2023 15:30 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kadang saya berkhayal sedang berada di Bolivia, Venezuela atau Nikaragua. Di negara-negara yang saya sebutkan diatas, penggorganisasian masa rakyat benar-benar terjadi.
Kesadaran politik mereka di Bolivia, Venezuela atau Nikaragua benar-benar dipupuk lewat pendidikan politik jangka panjang. Kesadaran masa rakyat tidak bisa digantikan dengan segepok uang, money politic menjelang dan pada saat pemilu.
Saat Presiden Bolivia, Evo Morales, yang merupakan pengorganisir petani coca terpilih menjadi Presiden, dia melewati proses yang panjang. Dia dipilih oleh sekitar 66 persen suku Indian di Bolivia—yang merupakan jumlah suku asli paling banyak di dunia.
Baca Juga: Calon Lawan Timnas Indonesia U23 Sudah Tancap Gas, Shin Tae Yong Harus Waspada
Saya bisa pastikan bahwa saat itu penduduk Bolivia benar-benar membutuhkan perubahan setelah bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan oligarki yang korup. Bukan terpilih karena ‘duit’ yang dibagikan oleh Morales untuk membeli bilik-bilik suara.
Karena memang si Morales ini bukan konglomerat kaya, dia hanya pengorganisir petani coca. Dia kemudian membentuk partai Gerakan Untuk Sosialisme, dan terpilih menjadi Presiden pada 2006.
Setelah kekuasaan berada dalam gengaman, Morales pun melakukan perubahan besar-besaran. Menasionalisasi perusahaan minyak dan gas dengan tujuan untuk meningkatkan program kesejahteraan sosial.
Ia mengkaji ulang kontrak karya dengan perusahaan-perusahaan Brasil dan Amerika, untuk memberikan porsi pendapatan yang lebih besar kepada rakyat dan pemerintah Bolivia.
Baca Juga: Renungan: Kisah Dua Pendaki Gunung, Ternyata Beban Berat Justru Jadi Penyelamat
Hak-hak masyarakat adat diakui di dalam konstitusi, serta melegalkan coca yang merupakan sumber penghasilan utama masyarakat adat Bolivia. Sebagai pengemar berat coca tea, saya cukup lega dengan keputusan yang terakhir.
Morales tidak pernah menjanjikan duit untuk memenangkan pemilu, tetapi hal pertama yang dia lakukan adalah memupuk kepercayaan di tengah-tengah masa rakyat, tidak sepenuhnya menjanjikan surga dalam setiap kampanyenya.
Tetapi ia mengajak rakyat untuk berpikir tentang sesuatu yang realistis, yang bisa dicapai lewat kerja-kerja kolektif berdasarkan realitas objektif di Bolivia. Setelah kepercayaan rakyat berhasil direbut, Morales dan rakyat Bolivia bahu-membahu dalam mengawal kemenangan bersama ini, melalui proyek-proyek pembebasan.
Pasca Perang Dingin, negara-negara Latin Amerika diperintah oleh rezim-rezim otoriter birokrat yang dikenal dengan Caudillo. Para jenderal ini sepenuhnya tidak percaya pada kemampuan pemerintahan yang dipilih secara demokratis.
Baca Juga: 4 Perkara dari Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara Dihentikan Lewat Keadilan Restoratif
Di samping itu, mereka pun skeptis akan kehebatan para politisi dalam menciptakan stabilitas sosial, politik dan ekonomi.
Pasca Perang Dunia pertama dan ke dua, rezim militer di Amerika Latin mulai menggalakkan Industri Substitusi Import (Import Substitution Industry). ISI terdiri dari mendirikan fasilitas produksi untuk memproduksi kebutuhan pokok yang sebelumnya diimpor.
Kebijakan ini kemudian mendapatkan kritik pedas, karena bahan-bahan kebutuhan pokok yang diproduksi dianggap berkualitas sangat rendah serta tidak bisa bersaing dengan barang-barang impor. Di samping itu, kebijakan ISI dianggap terlalu mahal dan menghabiskan banyak biaya dengan hasil yang tidak sepadan.
Kemudian kebijakan ekonomi silih-berganti, ISI kehilangan pamor dan Amerika Serikat akhirnya memainkan peranan penting. Mendukung, membiayai, melatih rezim sayap kanan untuk mengulingkan penguasa nasionalis dan sayap kiri yang dipilih secara demokratis.
Kemudian menguasai dan mengguras kekayaan alam di negara-negara Amerika Latin melalui kerjasama dengan rezim yang mereka bentuk. Kemajuan ekonomi pembangunan yang dicapai oleh Amerika Serikat saat ini, adalah juga kontribusi dari negara-negara Dunia Ketiga.
Ketika Hugo Chaves merebut kekuasaan di Venezuela lewat pemilihan yang demokratis—pasca kudeta yang gagal, banyak ahli politik mengernyitkan dahi. Banyak yang menggangap bahwa Hugo tidak beda jauh—bahkan akan mewarisi watak para caudillo sebelumnya.
Hugo berhasil membalikan pendapat para ahli ini. Dia membentuk kendaraan politknya sendiri yakni Gerakan Republik Ke-lima, dia kemudian bergabung dengan beberapa partai politik dan membentuk Partai Persatuan Sosialis Venezuela dan maju untuk mencalonkan diri sebagai Presiden.
Sejak berkuasa pada 1999 sampai kematiannya pada 2013, Hugo Chaves melancarkan program-program populis yang tidak ada padanannya di Amerika Latin, selain Kuba.
Baca Juga: Hutan Durian Terluas se Asia di Trenggalek Raih Anugerah Desa Wisata Terbaik di Indonesia 2023
Hugo dan pemerintahanya membangun perumahan layak huni bagi penduduk di barrios, menyediakan sumber air bersih dan listrik. Melalui kerjasama dengan Kuba, Venezuela menggalakkan program pemberantasan buta huruf, membangun sistem kesehatan serta perguruan tinggi untuk kalangan berkemampuan rendah.
Harus diingat bahwa, pada saat Chavez maju sebagai calon Presiden Venezuela dalam pemilihan umum, secara politik Hugo berhadapan langsung dengan kaum oligarki bisnis, politisi sayap kanan, partai oposisi konservatif, media dan hegemoni Amerika Serikat lewat CIA dan organisasi sempalan lainnya seperti IRI dan NDI.
Harus pula diingat bahwa Hugo Chaves tidak memiliki sumber dana untuk dibagi-bagikan kapada para pemilihnya. ‘’Aspirasi rakyat tidak bisa dibeli,’’ kata Chaves.
Setali tiga uang, di Nikaragua Daniel Ortega terpilih kembali untuk ketiga kalinya secara berturut-turut setelah mengalami pengulingan pada 1990 yang didalangi oleh CIA. Ortega kemudian dipilih kembali masing-masing pada 2006, 2011 dan 2016.
Baca Juga: Said Abdullah PDIP Ungkap Alasan Arsjad Rasjid Jadi Ketua Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo
Alasan utama dari terpilihnya Ortega adalah program-program populis yang dia jalankan. Dibawah kepemimpinan Ortega Nikaragua mengalami pertumbuhan ekonomi dua kali lipat dibanding negara-negara Amerika Latin lainnya.
Sekali lagi—meskipun mendapat tuduhan dari kalangan oposisi bahwa pemilu kali dipenuhi oleh kecurangan—sejak awal Ortega tidak memainkan politik uang dalan merebut kekuasaan.
Ortega sendiri sebelum melancarkan perlawanan terhadap Anastazio Somoza—adalah anak dari keluarga kelas buruh. Dia mengusung kharismanya sebagai bekas pemimpin FSLN (Frente Sandinista de Liberación Nacional) yang mengulingkan kediktatoran Anastasio Somoza Debayle pada 1979.
Tiga ilustrasi di atas sekadar ingin menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin populis tidak selalu mengandalkan sumber keuangan yang memadai untuk memenangkan pemilu.
Baca Juga: Spoiler Drakor Moving Episode 14 dan 15, Keluarga Manusia Super Lee Gang Hoon Hadapi Masalah Berat
Program yang bisa menjawab kebutuhan rakyat banyak dan tidak terlalu bombastis merupakan senjata paling ampuh untuk menarik dukungan dari masa rakyat. Intinya, program yang populis akan mendapatkan dukungan yang populis.
Kembali ke politik uang, pertanyaannya adalah kenapa partai politik dan politikus doyan menghabiskan khas mereka untuk membeli bilik suara? Apakah pendidikan politik dan pengorganisasian yang dilakukan oleh partai tidak berhasil menarik dukungan politik sehingga politik uang dianggap sebagai kartu as?
Menurut hemat saya, politisi dan partai-partai politik yang membagi-bagikan uang menjelang pemilihan umum dilanda syndrome lack of self confidence serta ada tendensi untuk ‘’memeroleh sesuatu setelah berada di tampuk kekuasaan.’’
Politik model begini, bisa disebut politik kartel, hasilnya akan bergantung kepada berapa jumlah uang yang dihabiskan untuk para pemilih dan berapa yang berhasil dikumpulkan lewat para penyandang dana yang sebagian besar didominasi oleh para pengusaha mapan dan investor, baik lokal maupun internasional.
Baca Juga: KPK Tegaskan Pemeriksaan terhadap Cak Imin Tidak Bermotif Politik, Ali Fikri: Kami Tegak Lurus
Setelah berada di singasana kekuasaan, para politisi ini ‘harus membayar hutang’ kepada para penyandang dana melalui mega proyek yang akan dibagikan tanpa tender, dan pada saat yang bersamaan melakukan korupsi untuk menutupi ‘kerugian mereka’ akibat khas pribadi yang telah mereka kucurkan untuk para pemilih.
Terjadi akumulasi kapital di lingkaran para elit, pejabat (Menteri, anggota parlemen, penguasaha dan lingkaran dekat (inner circle) pejabat negara. Dalam tataran ini, diskusi tentang trickle down effect sudah tidak berlaku.
Sampai detik ini pun, saya masih tetap tidak yakin dan meragukan ’’kemauan baik" para politisi dan partai politik yang memraktikkan politik uang untuk menuju kekuasaan.
Saya sepenuhnya yakin bahwa tujuan mereka untuk meraih kekuasaan bukan untuk melayani rakyat yang memilih mereka, tetapi memerjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, memerkaya diri dan orang-orang yang berada dekat dengan mereka.
Baca Juga: Minta Ditunda, KPK Panggil Ulang Cak Imin Sebagai Saksi Dugaan Korupsi Pekan Depan
Perubahan hanya bisa terjadi ketika rakyat sadar bahwa ada hal yang keliru, karena itu mereka membutuhkan alternatif. ‘Jalan lain’ yang diinginkan rakyat hanya bisa dihadirkan oleh kalangan progressif yang percaya pada kemampuan dan kesadaran rakyat akan sebuah perubahan.
Duit hanyalah candu, yang meninabobokan rakyat sesaat, tetapi tidak akan mengubah kehidupan mereka. Setiap suara yang mereka berikan kepada para politisi ‘calon koruptor’ hanya akan menambah penderitaan mereka dan memerkaya para politisi badut.
Kalau para politisi dan partai-partai politik benar-benar serius tentang sebuah perubahan dan percaya akan kemampuan rakyat, maka pendidikan politik, penggorganisasian dan memobilisasi untuk produksi adalah beberapa hal yang harus dikedepankan.
Karena pembagian duit untuk membeli suara pemilih hanya akan menghasilkan keberhasilan yang instan sifatnya.
Baca Juga: Sinopsis dan Jadwal Tayang Film Godzilla Minus One, Ketika Monster Nuklir Kembali Hancurkan Jepang
Satu pertanyaan sebagai penutup coretan ini. Apakah tujuan dari politik uang adalah salah satu cara untuk merebut kekuasaan, kemudian kekuasaan itu digunakan untuk kemakmuran rakyat. Atau berkuasa untuk melayani diri sendiri, keluarga dan teman-teman dekat?
Untuk saat ini, cukup sampai disini. Saatnya menyeruput coca tea pemberian sahabat saya dari La Paz. Kita lanjutkan lagi lain waktu, itupun kalau saya benar-benar punya waktu dan khalayak pembaca pun tidak merasa bosan dengan coretan-coretan saya.
(Oleh: Ivo Mateus Goncalves, bekerja di Universitas Nasional Timor Timur, Peneliti Sejarah dan kandidat PhD di Universitas Nasional Australia) ***