DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Denny JA: Jika Kau Rindu, Pandanglah Bintang Paling Terang

image
Pusi Esai Mini dari Denny JA, Jika Kau Rindu, Pandanglah Bintang Paling Terang.

 

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA – Denny JA, selaku pendiri ORBITINDONESIA menyimpan keprihatinan mendalam terhadap konflik bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan di Tanah Air ini.

Denny JA tidak ingin konflik bermuatan primordial seperti berlangsung di Sampit, Kalimantan Tengah antara warga suku Dayak dan Madura tahun 2001 berulang di mana saja, karena peristiwa itu merusak manusia dan kemanusiaan.

Atas keprihatinannya itu, Denny JA membuat puisi esai mini berikut ini:

“Jika Kau Rindu, Pandanglah Bintang Paling Terang”

Rindu yang dalam, yang perih, yang hening, dibawa angin, menyelinap, meniup daun- daun pohon jambu, menggoyang kabel- kabel tiang listrik di Sampang, Madura, di satu malam, di tahun 2003.

Ini area pengungsian.

Ribuan kepala keluarga Madura terusir dari Kota Sampit akibat konflik dengan suku Dayak.

Di area pengungsian itu, Milah melihat jam tangannya yang kumel.

Ini Jumat malam.

Sebentar lagi pukul 20.30.

Sejak dua tahun lalu, setiap Jumat malam, Milah kerjakan ritual ini. Pukul 20.30, ia menatap bintang paling terang.

Sambil hatinya berdoa, menjerit dalam bisu.

“Tuhan pertemukan aku dengan suamiku.

Kumohon. Sangat.”

“Berapa Jumat malam lagi aku harus menunggu?

Ini sudah Jumat malam yang keseratus dua puluh.”

Ucapan Ekot selalu terngiang.

Ekot suami yang baru saja menikah  dengannya saat itu, di tahun 2001.

Milah suku Madura.

Ekot suku Dayak.

Milah kini terdampar di Sampang.

Ekot kini entah di mana di Kota Sampit.

Ujar Ekot,

“Milah, jika suatu hari nanti  kita terpisah, dan kita sama-sama rindu, selalu ingat ini.”

“Jumat malam pukul 20.30, di manapun dirimu berada,

hentikan kegiatan.”

“Lihatlah langit.

Cari bintang yang paling terang.

Terus tataplah bintang itu.

Kirim rasa rindumu.”

“Pada waktu yang sama,

dari tempatku, di manapun aku berada, aku juga akan menatap bintang paling terang itu. Kukirim juga rinduku.”

“Kita menatap bintang yang sama, di waktu yang sama, dari jarak yang jauh. Akan terasa kita saling menatap. Menatap dalam bisu, tanpa bicara. Itulah tatapan yang paling dalam.”

Milah menolak manja.

“Aku tak mau pisah dengan kamu. Baru menikah, kok pisah?”

Ekot memeluk menenangkan. “Akupun tak mau. Siapa pula yang mau.”

Tapi terjadilah perang brutal itu.

Tanggal 18-21 Febuari 2001, lebih dari seribu manusia terbunuh.

Sampit menjadi gila.

Arwah leluhur dari penjuru menguasai langit.

Panglima burung dari ratusan tahun lalu hadir kembali.

Dengan mandau di tangan, suku Dayak memancung lebih dari 100 kepala Madura.

Lebih dari 100 ribu suku Madura harus mengungsi.

Keputusan ini cepat sekali.

“Dengar Milah,” kata Ayah Ekot. “Dirimu dan keluargamu harus pergi, keluar dari Sampit.” (1)

“Kau tak bisa dulu ikut Ekot, walau ia suamimu. Kau orang Madura. Kepalamu bisa dipancung.”

Ekot menyela. “Ayah, aku suami Milah yang sah. Bagaimana jika aku ikut Milah dan keluarganya mengungsi?”

Kini giliran Ayah Milah yang bicara. “Renungkan ini Ekot. Kau sudah kuanggap anakku sendiri.”

“Tapi kau orang Dayak. Suku Madura sedang luka dan terpana. Mereka akan membalas dendam. Walau kau menantuku, kau bisa dibunuh.”

Cepat sekali keputusan itu.

Untuk sementara Ekot dan Milah, pasangan pengantin baru itu dipisahkan. Sampai reda situasi. Entah kapan.

Cepat sekali keputusan itu.

Milah memeluk Ekot. Ia tak mau pisah. Menangis sekerasnya. Ekot memeluk Milah.  Keras sekali. Tak mau pisah. Juga menangis sekerasnya.

Dua ayah memisahkan mereka, menenangkan mereka.

Milah masih ingat.

Mereka berlari masuk hutan,

keluar hutan. Dikerjar suku Dayak.

Ekot dan Ayahnya mendampingi Milah dan keluarga, membawa Mandau, ikut belari memastikan Milah dan keluarganya selamat.

Mereka sudah siapkan bekal.

Berhari-hari mereka di hutan.

Mereka juga menyusuri Sungai Mentaya ke Teluk Sampit. (2)

Datanglah kapal laut itu.

Bersama lebih dari 100 ribu pengungsi, Milah bersama ribuan suku Madura meninggalkan Sampit.

Kapal laut berlayar.

Ekot tak mau beranjak,

hingga tak dilihatnya lagi itu kapal laut.

Kapal laut bertolak.

Milah tak mau pergi dari geladak kapal, hingga tak dilihatnya lagi itu daratan.

“Akankah kita berjumpa lagi, Ekot,  suamiku, cintaku, buah hatiku? Aku sedih, alang kepalang. Takut.”

“Ataukah ini jumpa kita terakhir? Milah teriak ke laut: “Ekoooootttt, cari aku. Temukan aku.”

Rintihan Milah digulung-gulung oleh ombak.

Malam makin gelap dan kelam.

Tapi lebih gelap hati Milah.

Tapi lebih kelam jiwa Ekot.

Di Sampang, oh di Sampang.

Di area pengungsi itu.

Milah tak menyangka.

Ia lebih banyak makan umbi-umbian.

Beras sulit dicari.

Tak pula diduga.

Ia hidup di petak 2,5 meter x 3 meter.

Tanpa kasur.

Tanpa lemari.

Hidupnya di Sampit dulu,

jauh lebih manusiawi.

Milah melihat hamparan itu.

Astaga, puluhan ribu pengungsi.

Semua dari Sampit.

Semua terusir.

Semua Madura.

Langit di sini jauh lebih murka.

Malam lebih menderita.

Siang juga lebih lesu.

Tanya Milah: “Sampai kapan aku kuat?”

Di sini,

setiap pagi Milah harus ke ladang.

Mencabut ketela.

Menanam jagung.

Mengambil kacang panjang,

Setiap pagi pula,

Milah memberi makan sapi.

Itu bukan sapinya.

Itu milik juragan.

Ia membantu keluarga Milah.

Milah ingin balas budi.

Oh, celaka.

Tiba musim kemarau.

Sumber mata air sungai kering.

Tapi tiada pilihan.

Pengungsi jalani saja.

Ini baju perlu dicuci.

Ini badan perlu mandi.

Ini pantat perlu buang air besar.

Ini tenggorokan perlu minum.

Semua dari air sungai yang sama.

Yang airnya mulai kering.

Tiada hiburan di sini.

Kecuali malam hari.

Kumpul di rumah kepala desa.

Nonton TV bersama.

Sinetron lagi, sinetron lagi.

Hidangan seadanya.

Cerita sini dan sana.

Dan lihatlah penguasa Sampang ini.

Awalnya pengungsi disambut hangat.

Lalu tibalah mereka bicara:

“Para sanak saudara.

Kami tak bisa berlama-lama menampung.

Kami sendiri serba kekurangan.”

“‘Memang kita sama-sama Madura.

Saling menanggung,

saling membantu.”

Tapi kalian pengungsi terlalu banyak, terlalu lama.”

Hidup secara pas-pasan.

Milah sering kena penyakit.

Infeksi pernafasan.

Penyakit kulit.

Kurang gizi.

Kata suster,

“itu penyakit khas para pengungsi.

Ini penyakit akibat tempatnya kotor. Makannya sembarangan.”

Kadang ada orang baik.

Pemda Banyuates memberi bantuan.

Obat-obatan gratis.

Susu gratis.

Setiap pekan.

Kadang ada pula bantuan uang.

Kadang ada orang tegas.

Wakil bupati Sampang.

Said Hidayat namanya.

Ujarnya:

“Penghasilan asli daerah hanya lima milyar setahun.

Ini hanya cukup untuk penduduk asli.”

“Tapi mana ia cukup membiayai puluhan ribu pengungsi?”

Satu Jumat malam, pukul 20.30, Milah kembali menatap bintang, bintang yang paling terang.

Milah mengadu:

“Wahai bintang yang paling terang.

Beratnya menjadi pengungsi.

Lebih berat dibandingkan dikejar Dayak.”

Malam itu Milah bermimpi.

Ekot datang padanya.

Berpakaian putih.

Berkopiah putih.

Harum bunga kamboja.

Bunga serba putih.

Ekot menatapnya.

Dua tapak tangannya memberi salam.

Memberi isyarat.

Ekot mohon pamit.

Milah terbangun.

Ia terpana.

Gerak kilat ia duduk.

“Ekot, apakah kau sudah mati.”

Tiga kali sudah Milah mimpi serupa.

Mimpi pertama dan kedua sudah sangat mengganggu.

Milah semakin susah tidur.

Kata tetangga, ia sering melamun.

Kadang Milah ngomong sendiri.

Milah tak lagi urus diri.

Jarang mandi.

Rambut kusut.

Pakaian kumal.

Mimpi Ekot kali ini, yang ketiga kali, api memuncak.

Ia sangat rindu suaminya.

Ia ingin kembali ke Sampit.

Tapi menurut orang tuanya, situasi Sampit belum aman.

Ia sering menangis sendirian tengah malam:

“Ekot, Ekot, aku sudah tak kuat.

Aku rindu kamu.

Peluk aku, Ekot.”

Tengah malam itu juga,

Milah keluar rumah petak.

Ia berlari kencang.

Kencang sekali.

Air matanya banyak.

Banyak sekali.

Milah  berteriak kencang.

“Ekot, Ekot, jangan tinggalkan aku.

Jika kau pergi ke alam baka,

ajak aku.

Aku ikut.

Ekooooootttttt”

Para pengungsi lain terbangun.

Semua keluar berkumpul,

melihat Milah teriak-teriak sendiri.

Mata para pengungsi saling menatap.

Saling memahami.

Sejak dulu mereka menduga.

Milah terkena sakit mental.

Sakit yang banyak diderita para pengungsi. ***

 

Agustus 2021.

1. Suami istri suku Dayak dan Madura bahkan harus dipisahkan dalam konflik Sampit 2001 itu.

https://journal.uii.ac.id/Psikologika/article/download/331/7126/15786

2. Banyak orang Madura di Sampit menyelamatkan diri berlari masuk hutan.

https://surabaya.tribunnews.com/amp/2008/12/12/kehidupan-pengungsi-sampit-di-pasar-keputran-1-7

3. Suasana pengungsian suku Madura dari Sampit memprihatinkan.

https://m.liputan6.com/news/read/39290/dari-sampit-menyambung-sengsara-ke-sampang

#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998),  Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012). ***

Berita Terkait