Cerita Prof Moh. Mahfud MD tentang Tidak Ada Hakim yang Korupsi di Jepang
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 26 Januari 2023 09:05 WIB
ORBITINDONESIA - Saya terperangah dan takjub ketika pada Selasa, 16 Januari 2018, seorang advokat di Nagoya, Jepang menjawab pertanyaan saya sambil terheran-heran.
Saat itu saya bersama Zainal Arifin Mochtar (Uceng) dari Fakultas Hukum UGM diundang makan siang oleh pimpinan ASEAN Nagoya Club (ANC) di sebuah restoran di Nagoya Jepang.
ANC adalah sebuah komunitas pebisnis Jepang untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya.
Baca Juga: Daebak! Doyoung NCT Bawain Lagu Cry akan Mengisi Ost Dorama Jepang Hoshi Furu Yoruni
Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi sebagai dosen di bidang hukum, pihak tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Prof Shimada.
Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang ...?”
Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu.
Dia mengatakan, sepanjang kariernya dia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”
Baca Juga: Profil Lengkap Dian Sastrowardoyo, Perjalanan Karir, tanggal Lahir, Nama Suami, Anak, dan Instagram
Di Jepang, kata Haruna, masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya.
“Apakah Anda percaya pada semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani perkara ...?” tanya saya.
Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap."
Baca Juga: Dian Sastrowardoyo Trending Twitter karena Suka DPR Live
"Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan.
Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Haruna.
Ketika Haruna mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan.
Saya bilang restoran tempat kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera makan, termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan begitu harmonis.
Baca Juga: Berikut Ini Panduan Dasar Jika Kamu Ingin Hadiri Harlah Satu Abad NU
Lalu saya mengajak berfoto. Saya lihat Uceng segera berpatut-patut mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando kami agar ambil posisi untuk foto bersama.
Uceng membantu saya dengan gaya seperti pemotret profesional. Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.
Sengaja saya belokkan pembicaraan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia.
Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan ANC bahwa aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
Baca Juga: Harlah 1 Abad NU, Ini 10 Kata Bijak dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari yang Menginspirasi
Saya memang berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia sudah cukup bagus untuk investasi.
Tetapi saya tidak berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Bisa malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu.
Bayangkanlah, saya harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan.
Saya akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim.
Baca Juga: Yang Sedang Butuh Pekerjaan di Kalimantan, Ada Lowongan Kerja di PT Virama Karya Persero
Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.
Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.
Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara ...??
Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong.
Baca Juga: BRI Liga 1: Rans Nusantara FC Melawan Bali United, Drama 8 Gol Tanpa Pemenang
Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.
Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo.Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.
Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.
Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya.
Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik
Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik.
Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah).
Untuk apa ...??
Baca Juga: Makin Hemat Pakai Kode Promo Gojek dan Dapatkan Diskon untuk Layanan GoRide, GoSend, Hingga GoFood
“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri.
Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.
Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya.
“Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp120.000 ke sini ...?? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya.
Baca Juga: Harlah 1 Abad NU, Ini Lirik Lagu Mars Satu Abad Nahdlatul Ulama yang Diciptakan oleh Gus Mus
Apa jawab petugas itu ...?? “Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.
Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.
“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof ...??” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu.
“Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya.
Oleh: Moh Mahfud MD, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013).***