Polisi Harus Belajar dari Kasus Perkosaan Sum Kuning yang Penuh Rekayasa untuk Lindungi Pelaku
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 09 Januari 2023 12:25 WIB
ORBITINDONESIA - Kisah Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat bisa jadi mirip-mirip dengan kisah Sumaridjem (Sum Kuning) yang terjadi pada tahun 1970.
Pada 21 September 1970, Sum Kuning (17 tahun) membawa 200 butir telur ayam kampung untuk diasongkan ke para pelanggan di kota Yogyakarta. Karena kemalaman, sudah tidak ada bis ke Godean, Sum terpaksa pulang jalan kaki.
Ketika melintas di Asrama Polisi Patuk, sebuah mobil tiba-tiba berhenti. Sekelompok pemuda turun dan langsung menarik paksa Sum Kuning masuk ke dalam mobil. Mobil segera bergerak dan Sum dibius.
Baca Juga: Usai Kalahkan Chelsea di Liga Primer Inggris, Manchester City Kembali Bantai The Blues di Piala FA
Dalam kondisi setengah sadar, Sum diperkosa bergiliran oleh 4 pemuda hingga pingsan. Setelah itu, Sum dibuang di tepi jalan di Palem Gurih, Gamping ± 4 km dari tempat penculikan.
Uang hasil dagangan sebesar Rp 4.650,- (setara Rp 700.000,- uang sekarang) pun digondol kabur. Uang ini jerih payah untuk modal jualan esok hari dan nafkah buat keluarganya.
Sum Kuning 4 hari dirawat di rumah sakit karena luka perdarahan kelaminnya. Imam Sutrisno, wartawan Kedaulatan Rakyat, melaporkan ke Polisi Militer, Denpom VII/2. Kasus ini merebak menjadi berita besar.
Kepolisian Yogyakarta malah memainkan drama "Maling Teriak Maling" karena konon, perkosaan ini dilakukan oleh anak-anak petinggi di Yogyakarta. Ini masuk akal, karena hanya orang terkemuka dan orang kayalah yang memiliki mobil pada masa itu.
Keluar dari rumah sakit, Sum langsung ditahan. Ruang geraknya dibatasi. Polisi malah menyiksa Sum dalam tahanan. Polisi mengancam Sum akan disetrum kalau ia tidak mengakui versi lain dari ceritanya.
Sum bahkan disuruh membuka pakaiannya untuk mencari tanda Palu Arit. Dia dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan di bawah PKI.