Denny JA: Mengungsilah Dulu, Sayangku, Kerusuhan Sampit 2001
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 30 Juli 2022 08:57 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA – Denny JA, selaku pendiri ORBITINDONESIA begitu prihatin dengan konflik berbau suku, agama, ras, dan antargolongan di Tanah Air ini.
Ia tidak menginginkan konflik yang merendahkan harkat manusia dan kemanusiaan ini berulang di Indonesia.
Denny JA menuangkan keprihatinannya itu ke dalam bentuk puisi esai berikut ini:
“Mengungsilah Dulu, Sayangku”
Rasa yang ngilu,
pelan tapi dalam,
menyelinap di hati Jazil.
Suasana hening terbang,
dibawa angin,
memenuhi udara Kota Sampit, di satu sore tahun 2015.
Sepi.
Juga sedih.
Empat belas tahun sudah,
Jazil pergi dari kota ini.
Kini, pertama kali, Jazil kembali.
Kembali ke Sampit.
Ia pulang.
Ia memberanikan diri.
Jazil pulang setelah berdiri Tugu perdamaian.
Tugu suku Dayak dan suku Madura.
Jazil duduk di tangga.
Diambilnya secarik kertas, dari saku.
Catatan lama yang lusuh, dari tahun 2001,
empat belas tahun lalu.
Ia baca kembali:
“Mengungsilah dulu, sayangku.
Menjauh dari Kota Sampit.
Semua sedang gila.
Ketika sudah reda,
kembali lagi ke sini,
ke Kota Sampit.
Aku menunggumu.
Kita menikah.”
(Sanja, 4 Maret 2001)
Jazil terdiam.
Wajah Sanja, sang kekasih,
sudah menyatu di tulang sumsum.
Lalu Jazil menangis segugukan.
Entah mengapa.
Dicoba ditahan.
Badan terguncang- guncang.
Kisah empat belas tahun lalu datang kembali.
Konflik berdarah suku Dayak versus suku Madura.
Horor.
Ngeri.
Itu tahun 2001.
Usia Jazil 22 tahun.
Sanja , oh Sanja , gadis Dayak 20 tahun,
oh pujaan hati.
Bulan purnama depan, mereka menikah.
Rumah itu, pemberian ayah Jazil.
Mungil saja.
Tapi banyak pohon.
Berdua mereka rawat itu rumah.
“Ini nanti kamar untuk anak kita ya,” pinta Sanja.
Di ruang tamu itu, terpasang wajah Sanja.
Jazil sendiri yang melukisnya.
Cinta memenuhi itu rumah.
Kemesraan menempel di mana-mana, di plafon, di lemari, di meja.
Kasih sayang menggelantung di jendela, di pintu.
“Oh kedalaman kasih sayang, kau kupu- kupu yang selalu hinggap di hatiku.”
Itulah yang dirasakan Jazil.
Saat itu, orang tua Sanja menerima Jazil.
“Saya tak tahu apakah masih ada darah Madura di tubuh saya,” ujar Jazil kepada Ayah Sanja, tokoh Dayak.
Lanjut Jazil, “Saya hanya mendengar.
Buyut saya dari Madura.
Tahun 1930, ia ikut transmigrasi ke sini.”
Tapi saya, ayah saya, kakek saya, lahir di sini,
di Kalimantan Tengah.
Lalu meledaklah konflik itu.
Puncaknya 18-21 Febuari 2001.
Ratusan suku Madura tak hanya dibunuh suku Dayak,
tapi juga dipancung kepalanya.
Sore itu, Jazil menjerit kencang sekali.
Ayahnya mati di tangan suku Dayak.
Jazil melonglong.
Suaranya menyentuh langit:
“Tidaaaaaakkkkk!
Apa salahmu, Ayah?
Kau tak ikut konflik ini!”
Paman minta Jazil pergi dari Sampit.
“Tapi paman, aku akan menikah dengan gadis Dayak. Aku aman di sini.”
Paman membentak: “Hei, kau mau mati?
Buka matamu. Lihat pak Hasyim. Istrinya juga orang Dayak. Ia juga dipancung!!”
Jazil tak terpengaruh.
“Cintaku lebih kuat dibandingkan seribu gunung,
mengalahkan rasa takutku,” Jazil yakinkan diri.
Sampailah momen itu.
kakak lelaki Sanja datang padanya,
Menyampaikan secarik kertas itu.
Surat dari Sanja,
memintanya mengungsi.
“Di mana aku bisa temui Sanja?,” tanya Jazil.
Sang kakak menjelaskan.
“Ini bukan waktu yang tepat. Bahaya bukan hanya buat Jazil.
Juga bahaya buat Sanja.
“Bahaya buat keluarga.
Kami akan dituduh berkhianat.”
Kakak Sanja menjelaskan. Ayah mereka juga berubah.
Jazil tak lagi diterima.
Jazil orang Madura.
Ayah Sanja tokoh Dayak.
Bahaya dimana- mana.
Semua daun- dan ranting
menjadi mata- mata.
Mencari siapapun orang Madura.
Juga suku Dayak yang membantu Madura.
Itulah hari terakhir Jazil di Kota Sampit.
Ia mengungsi ke Jawa Timur,
naik kapal yang dikawal TNI angkatan laut.
Di tengah laut, di malam itu,
di perjalanan keluar dari Kalimantan, di geladak kapal, Jazil berteriak:
“Sanja, Sanja, tunggu aku.
Segera aku kembali.
Tunggu akuuuuuuuu.”
Tahun 2002,
setahun sudah Jazil di Surabaya.
Setahun ia tak berkabar dengan Sanja.
“Sanja, rinduku padamu memuncak.
Apa kabarmu?
Aku di sini,
tidak baik- baik saja.
Aku ingin menikahimu.
Seperti yang kau minta.”
“Berkali- kali kukirim surat.
Sampaikah pesanku padamu?
Mengapa tiada satu suratpun kau balas?”
Jazil awalnya ingin segera kembali ke Sampit.
Di tahun itu juga, tahun 2002.
Ia membaca berita.
Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono berkata.
Tokoh Dayak menjamin orang Madura sudah aman kembali ke Sampit. (1)
Jazil juga mendengar kabar.
Banyak tokoh Dayak Kalimantan.
Mereka berkunjung kepada Wapres Hamzah Haz.
Perdamaian dengan suku Madura segera dimulai.
Diawali dengan ritus supernatural. (2)
Dua ratus orang sakti akan dikerahkan.
Langit Kota Sampit segera dibersihkan.
Arwah dan roh kemarahan diminta pergi.
“Sanja, sambutlah.
Aku akan datang.
Kita segera menikah.”
Namun Jazil mendengar berita.
Suku Dayak kembali menyerang Suku Madura di Kota Sampit. (3)
“Oh, di manakah jaminan itu?”
Jazil urungkan diri.
Kematian Ayahnya,
yang dibunuh,
dipancung kepala,
membuatnya gentar.
Tahun 2015, empat belas tahun sudah Jazil menunggu.
Selama itu,
Ia menahan diri.
Tak menikah,
Tak jatuh cinta.
Beberapa gadis berkunjung.
Mengetuk pintu hati.
Tapi itu pintu tak pernah Jazil buka.
“Ini pintu hanya untuk Sanja.
Kekasihku sudah berjanji. Ia menunggu.
Oh, Cinta sejatiku.”
Tahun 2015.
Berdiri sebuah tugu.
Di bundaran utama kota Sampit.
Tepat ditengah bundaran.
Tugu perdamaian itu
tegak, kokoh, menjulang.
Oh damailah suku Dayak dan suku Madura,
Tugu itu, berbentuk cawan suku Dayak.
Besar. Besar sekali.
Dikelilingi taman. (4)
Berdiri pula di dekat tugu,
Masjid Agung Wahyu Al Hadi.
Sudah berdiri sebelumnya,
monumen Kayu.
Kayu tinggi yang diukir,
seni suku Dayak.
Bundaran ini menyimpan sejarah hitam.
Tapi juga objek wisata kota Sampit.
Zaman baru telah datang.
Suku Dayak dan Madura sungguh telah damai.
Kota Sampit sudah aman.
Jazil sampai juga di sana.
Di tugu damai itu.
Seminggu sudah, Jazil di kota Sampit.
Ia mencari Sanja, pagi hingga malam.
Tiada kabar.
Keluarga Sanja sudah pindah,
sejak lama.
Rumah Jazil sendiri sudah rata dengan tanah.
“Oh, Sampit, Kota Sampit.
Kau tak lagi kukenali.”
Akhirnya, Jazil ketemu rumah Sanja.
Hati Jazil berdebar kencang.
Empat belas tahun tak jumpa.
Usia Jazil kini 36 tahun.
Sanja 34 tahun.
Di halaman itu,
Jazil melihat bocah cilik,
usia 3 tahun.
“Oh wajahnya mirip Sanja.”
Di pintu itu, seorang gadis keluar.
Jantung Jazil meletus.
“Sanja, oh Sanja, aku datang mencarimu.
Seperti kau minta.”
Sanja histeris, menangis.
“Jazil, Jazil,
mengapa tiada berkabar.
Bertahun- tahun aku menunggu.
“Orang- orang bercerita kau telah tiada.
Tak selamat,
seperti orang Madura lain.
Ayahku meyakinkanku.
Ia sempat melihat mayatmu.”
Sanja pun berkisah.
Ia sudah menikah.
Setelah bertahun menderita.
Itu bocah itu, putra Sanja.
Ia beri nama: Jazil.
Jutaan jarum berterbangan,
menancap di ulu hati Jazil.
“ya Tuhan,
apakah masih ada rasa pilu,
senyeri ini?”
Di pelabuhan,
Jazil kembali pergi dari Kota Sampit.
Pergi untuk kedua kalinya.
Di tahun 2001,
Ia mengungsi,
rasa takut menghantui,
Madura dibantai Dayak.
Kini tahun 2015,
Ia tidak mengungsi,
tapi ia pergi.
Pergi saja.
Kekasih, yang ia jaga di hati,
telah pergi.
Kekasih tak menunggu, seperti janji.
Tapi Jazil tak salahkan Sanja.
Keluarga menipunya.
Menyatakan Jazil sudah mati.
Oh, malam di tengah laut,
Kelam sekali.
Jazil teriak dari geladak kapal:
“Sanjaaaaa……..
“Sanjaaaaa…”
“Sanjaaaaaaaaaa…”
Tahulah Jazil.
Kehilangan kekasih hati,
yang ia rindu belasan tahun, dibanding ketika ia dulu mengungsi,
ternyata ini lebih nyeri.
Ternyata itu lebih perih. ***
Juli 2022
CATATAN
1. Menko Polkam Susilo Bambang Yudoyono umumkan Tokoh Dayak menjamin keselamatan suku Madura di Sampit.
https://m.liputan6.com/news/read/8824/tokoh-adat-dayak-menjamin-perdamaian-kalteng.
2. Perdamaian akan dimulai dengan pembersihan supernatural atas Kota Sampit
https://m.liputan6.com/news/read/34940/tokoh-dayak-menggagas-rekonsiliasi-kasus-sampit.
3. Tapi tetap terjadi serangan suku Dayak atas Madura walau ada jaminan.
https://nasional.tempo.co/read/25768/penyerangan-dilakukan-secara-terencana.
4. Tugu Perdamaian Dayak- Madura tahun 2015 didirikan.
https://correcto.id/beranda/read/26465/melawan-lupa-ini-sejarah-tugu-perdamaian-suku-dayak-dan-madura-yang-ada-di-sampit.
#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012).