Global Warming dan Mangrove Dunia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 29 Juli 2022 14:16 WIB
Oleh: Dr. Ir. Indra Iskandar, Sekretaris Jenderal DPR RI
ORBITINDONESIA - Bumi ”terpanggang” di tengah peringatan International Day for the Conservation of the Mangrove Ecosystem, 26 Juli 2022.
Betapa tidak! Suhu ekstrem menghantam Eropa dan Amerika Serikat (AS), Rabu (20/7). Kedua benua itu seakan tak berdaya menghadapi cuaca yang “marah”.
Dampak kenaikan suhu ekstrim itu, lebih dari 100 juta orang di AS kelojotan tertimpa gelombang panas di atas 100-115 derajat Fahrenheit, atau lebih dari 40 derajat Celsius.
Baca Juga: Denny JA: Muslim Dunia Berbeda Pandangan tentang Penerapan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif
Gelombang panas di Dallas-Fort, misalnya, bersuhu 42 hingga 43 derajat Celsius. Sementara di Kanada, akibat gelombang panas tersebut, 70 orang dilaporkan tewas.
Presiden AS Joe Biden mengatakan, perubahan iklim benar-benar tengah mengancam bumi Uncle Sam. Biden menetapkan Amerika dalam “darurat” global warming. Kondisi yang sama juga berlangsung di Eropa.
Di Inggris, misalnya, pada musim panas 2022, suhu udara menacapai 40 derajat Celsius lebih. Di Prancis dan Italia, panas udara seperti memanggang kota-kota besar yang sumpek.
Di Jepang, suhu udara memecahkan rekor terpanas yang tercatat sejak medio 1800-an. Di kota Kumigaya, 64 kilometer dari Tokyo, suhu udara mencapai 41,1 derajat Celsius. Gelombang panas tersebut telah menewaskan 77 orang. Sekitar 30 ribu orang lainnya, sejak 9 Juli lalu, dilarikan ke rumah sakit.
Baca Juga: Horoskop Percintaan Zodiak Leo 29 Juli 2022: Hari yang Sempurna dan Penuh Gairah
Pemecahan rekor suhu udara tertinggi terjadi di benua Afrika. Tepatnya di Ourgla, Aljazair. Suhu udara di kota ini, nauzubillah panasnya, mencapai 51,3 derajat Celsius, 5 Juli lalu. Suhu setinggi itu membuat manusia dan spesies lain kelojotan seperti terpanggang bara api.
Direktur Earth and Environmental System Institute di Pennsylvania University, Prof. Michael E Mann, mengatakan: fenomena gelombang panas yang menghantam Amerika saat ini adalah bukti tak terbantahkan dari dampak global warming yang diperdebatkan para ahli lingkungan.
"Dampak perubahan iklim kini nyata. Kita melihat, semuanya terjadi dalam bentuk gelombang panas, banjir, kekeringan, dan kebakaran lahan. Kita merasakannya sepanjang bulan Juli ini," ujar Mann kepada CNN.
Senada dengan Mann, ilmuwan iklim dari Texas Tech University, Katharine Hayhoe, menganggap fenomena alam saat ini luar biasa.
Baca Juga: M. Alfan Alfian: Keluhan Umat Islam Terpinggirkan Secara politik, Tidak Relevan Lagi
"Dingin dan panas, basah dan kering, kita sudah biasa mengalami itu. Namun sekarang, perubahan iklim memberikan ketidakpastian, menimbulkan sejumlah realitas ekstrem, seperti gelombang panas dan hujan lebat yang kondisnya di luar perkiraan,” ujar Hayhoe.
Kondisi ekstrim suhu bumi tersebut, sudah lama diprediksi secara ilmiah. Penyebab utamanya pun sudah diketahui. Yaitu kadar gas rumah kaca – terutama gas karbon dioksida (karbon) – yang terus memekat di atmosfir bumi.
Gas karbon ini berasal dari pembakaran fossil fuel untuk kebutuhan energi penduduk bumi. Pada tahun 2019 saja, 84 persen kebutuhan energi penduduk bumi berasal dari fossil fuel seperti minyak bumi, batubara, dan gas alam. Hampir sebanyak itu pula, gas karbon – hasil pembakaran fossil fuel – mencemari atmosfir bumi.
Dampak pekatnya kadar gas karbon itu, udara panas yang terbang ke langit – karena terkurung “rumah kaca” atmosfir -- kembali ke bumi dan memanaskan udara globe. Jadilah, bumi makin panas dan iklim pun mengalami kekacauan. Itulah yang terjadi saat ini.
Baca Juga: Lirik Dunia Tipu Tipu Yura Yunita, Lagu yang Berpesan Lewat Mata Menuju Hati
Lalu, apa kaitannya dengan pohon mangrove? Mangrove, tidak hanya mampu meredam dan menurunkan abrasi laut. Tapi juga menghadang gelombang tsunami dan menyerap gas karbon 4-5 kali lipat dari hutan tropis.
Daya serap hutan mangrove terhadap gas karbon dioksida yang besar, menjadikan pohon yang tumbuh di pesisir ini punya potensi cukup signifikan untuk menahan tingginya suhu udara akibat pekatnya kadar gas rumah kaca di atmosfir.
Menariknya, Indonesia yang panjang garis pantainya 95,181 km2, mempunyai luas hutan mangrove 3.489.140,68 Ha. Jumlah ini setara dengan 23% ekosistem hutan mangrove dunia, yang luasnya 16.530.000 Ha.
Jadi, tidak berlebihan jika Indonesia, punya potensi besar untuk menyelamatkan bumi dari terjangan suhu tinggi – asalkan kepulauan di nusantara ditanami mangrove.
Baca Juga: 6 Pilihan Aplikasi Editing Video yang Bisa Digunakan di Laptop atau PC
Indonesia sudah seharusnya memperluas hutan mangrovenya. Yang nantinya tidak hanya berdampak pada penurunan global warming.
Tapi juga meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Karena hutan mangrove menjadi habitat dan tempat pengembangbiakan ikan, udang, kepiting, rajungan, dan lain-lain, yang punya nilai ekonomi.
Dengan melihat potensi di atas, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay, mengatakan: “UNESCO telah mempersiapkan beberapa kegiatan untuk memperingati Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove”.
Di antara kegiatan tersebut adalah peluncuran “Proyek Restorasi Mangrove Baru” di tujuh negara Amerika Latin -- Kolombia, Kuba, Ekuador, El Savador, Meksiko, Panama, dan Peru.
Baca Juga: Keutamaan Shalat Sunnah Dhuha Menurut Hadits
Kita menyadari bahwa setiap upaya konservasi mangrove akan berdampak positif pada masa depan bumi. Bila hutan mangrove bertambah luas di muka bumi niscaya pengaruhnya signifikan untuk mengurangi kenaikan suhu global yang kini tengah mengancam manusia. ***