Ayahku Menggali Kuburan Massal, Konflik di Sampit 2001 Suku Dayak Versus Madura
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 28 Juli 2022 06:32 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA – Selaku pendiri ORBITINDONESIA, Denny JA prihatin terhadap konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan di Indonesia.
Menurut Denny JA, konflik seperti itu sungguh merusak manusia sekaligus nilai-nilai kemanusiaannya.
Atas keprihatinannya itu, Denny JA menulis puisi dan berbagai esai tentang isu dan konflik yang bermuatan primordial sekaligus untuk menggugah kesadaran manusia akan arti pentingnya bersatu dalam keberagaman:
Baca Juga: Kenali Risiko Terlalu Banyak Konsumsi Makanan Gorengan, Bisa Jadi Penyebab Diabetes Tipe 2
Berikut ini salah satu puisi esai mini karya dari Denny JA:
“Ayahku Menggali Kuburan Massal”
Rasa kosong itu, kembali datang.
Di mana-mana.
Bergelantungan di ranting pohon-pohon, melayang di udara Kota Sampit.
Ia alami ini,
bertahun sudah.
Rasa bersalah menjadi raja.
Berkuasa di hati.
Rasa sesal terus bermukim,
di tulang sumsum.
mengganggu,
sepanjang hari, sepanjang bulan.
Betahun sudah.
Pukul tiga dini hari.
Nanjan duduk di sana, sejak tadi malam.
Di beranda rumah.
Menghadap ke langit luas.
Baca Juga: Horoskop Kesehatan Zodiak Leo 27 Juli 2022: Saatnya Anda Istirahat
“Ya Tuhan,
mengapa aku tak kunjung mati?
Aku takut bunuh diri.
Cepat ambil nyawaku.
“Apalagi yang harus kubuat?
Aku ingin mati.”
Nanjan kirimkan doa itu ke langit.
Ia berharap malaikat mendengarnya.
Membawa harapan kematiannya kepada penguasa hidup, penguasa alam semesta.
Nanjan, usia 55 tahun.
Kuyu dan kusut.
Jarang bicara.
Badannya lemah.
Baca Juga: Horoskop Kesehatan Zodiak Leo 27 Juli 2022: Saatnya Anda Istirahat
Duduk di kursi roda,
sejak lima tahun lalu.
Menarik diri dari keluarga,
Menjauh dari teman-teman,
bertahun sudah.
Konflik suku Dayak dan Madura di Sampit, 2001,
menjadi awal perkara.
Sesuatu yang sangat horor,
yang wow, mencekam,
dari peristiwa itu, terus menjadi beban,
menetap, tak mau pergi.
“Ayah, sudah jam 3.00 subuh.
Masuk lagi ke kamar.
Tidur Ayah.”
Baca Juga: RANS Nusantara FC akan Bertanding Melawan PSS Sleman, Inilah Harga Tiketnya
Tanpa perlu persetujuan Ayah,
Jenta mendorong kursi roda, masuk ke kamar.
Dipapahnya Nanjan ke ranjang.
Dimatikannya lampu,
agar Ayahnya tidur.
Jenta kerjakan hal yang sama, untuk Ayahnya,
berulang-ulang,
hampir setiap hari.
bertahun sudah.
Ia anak putri satu-satunya.
Sangat menyayangi Ayahnya.
Sampit, 2001.
Nanjan gagah perkasa.
Tapi hatinya luka.
Adiknya dibunuh orang Madura.
Baca Juga: Tok! Hakim Tolak Praperadilan Eks Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming
Itu era Sampit menjadi gila.
Permusuhan dengan Madura memenuhi udara.
Suku Dayak berkumpul,
dari banyak pedalaman, datang ke Sampit.
Mereka dari utara,
dari selatan,
dari barat dan timur,
melewati sungai,
menyebarangi rawa,
mendaki bukit.
Ujar pemimpin Dayak yang dituakan:
“Panglima burung sudah datang.
Para leluhur dari ratusan tahun lalu sudah hadir.
Hiruplah udara.
Rasakanlah air.
Isyarat itu sudah bicara.
Baca Juga: Bila Menghadapi Mafia Tanah, Adukan Saja ke Sini
“Saatnya balas dendam.
Tradisi kita dilecehkan.
Perang segera kita mulai.
Perjuangan kita menangkan.”
“Kita bersihkan Sampit,
dari sampah,
dari suku Madura.”
Ratusan suku Dayak histeris,
mandau diacung-acungkan ke langit:
“Usir. Bunuh. Pancung!
Kita basmi.
Kita habiskan.”
Panglima Burung adalah Pangkalima.
Ia pemimpin spiritual Dayak sejak ratusan tahun lalu.
Wujudnya tak telihat.
Semakin tak nampak, semakin melegenda.
Baca Juga: Inilah Jadwal Pertandingan PSS Sleman Periode Juli Sampai Agustus 2022
Dialah bapak pelindung.
Dialah pemersatu.
Warga Dayak meyakini Panglima Burung.
Ia sosok gaib.
Bermukim di pedalaman Kalimantan.
Sejak ratusan tahun lalu,
Panglima Burung mengawasi Suku Dayak,
menjaga, merawat,
memantau dari jauh.
Panglima Burung turun ke bumi, sewaktu-waktu.
Ia hadir seutuhnya.
Atau ia hadir lewat jiwa orang lain.
Baca Juga: MUI Hentikan Kerja Sama dengan ACT, Ini Alasannya
Mata air karakter Dayak sejati,
itulah Panglima Burung.
Ia cinta damai, pengalah, penolong, pemalu, sederhana.
Tapi, oh tapi.
Panglima burung bisa berubah tegas, dan gagah berani, kapanpun dibutuhkan, jika suku Dayak terancam, teraniaya, dilecehkan.
Di mata lawan, Panglima Burung bisa sangat kejam. Sadis! Tanpa ampun.
Ritual khusus sudah dilakukan.
Panglima Burung sudah dipanggil.
Nanjan bergelora.
Mandau sudah diasahnya, berkali-kali. Tajam sekali.
Baca Juga: Ada Info Lowongan Kerja Buat Lulusan SMK/Sederajat yang Paham Desain Grafis
Ia isap udara itu.
Nanjan rasakan Panglima Burung berbicara padanya.
Ia pun bergerak.
Tanggal 20 Febuari 2001,
ribuan suku Dayak menyerbu.
Nanjan teriak kencang sekali:
“Habisiiiiiiiiiiiiiiiiiiii !”
“Basmiiiiiiiii!”
Nanjan tak lagi ingat.
Berapa kepala yang ia pancung.
Nanjan rasakan itu, alam yang berbeda.
Kekuatan magis merasuk.
Ia hayati leluhur yang hadir membimbing.
Panglima Burung menjadi komandan.
Baca Juga: Ada Kebakaran di Plaza Senayan Jakarta
Beberapa hari kemudian, situasi berubah.
Hening.
Sunyi.
Diam.
Nanjan normal kembali.
Ia melihat diri sedang mengemudi truk.
Di belakang, di dalam bak truk,
puluhan mayat bertumpuk.
Nanjan terpana.
Beberapa mayat itu tanpa kepala. (1)
Ia melihat dirinya menggali kubur.
Puluhan mayat digabung menjadi satu.
Ia teringat peristiwa.
Nanjan membunuh sepupunya sendiri, sesama Dayak.
Sepupu itu mencoba menghalangi, sambil berteriak:
“Jangan memancung, Nanjan.
Ingat buyut kita: Damang Batu.”
Baca Juga: Polisi Ikut Percepat Penyerahan Santunan Kepada Keluarga Korban Kecelakaan Odong Odong
Saat itu, Nanjan tak peduli.
Menerjang apapun yang menghalangi.
“Jangan Nanjan, Jangan.
Ingat Damang Batu,“ sepupunya menahan.
Tapi Nanjan terus menyerbu.
Matanya merah.
Ini roh menggerakkannya.
Minggu berganti minggu.
Bulan berganti bulan.
Suasana berbeda.
Baca Juga: Inilah Wajah Sopir Taksi Diduga Pelaku Pencabulan Bocah Perempuan yang Sekarang Dicari Polisi
Nanjan terpana.
Istri dan anak dari sepupu yang ia bunuh, menderita.
Sangat.
Ia melihat puluhan ribu Madura mengungsi.
Menderita.
Sangat.
Ia teringat ucapan sepupunya:
“Damang Batu.
Leluhur kita Damang Batu.”
Rasa salah menyelinap perlahan.
Makin lama, rasa itu menggulung,
menenggelamkannya.
Baca Juga: Ini 4 Manfaat Mengkonsumsi Buah Apel secara Rutin, Salah Satunya Cegah Diabetes
Terasa ada yang memanggilnya.
“Nanjan, mengapa kau mengayau?
Mengapa kau memancung kepala?”
Kembali Nanjan dihantui,
oleh bayangan derita orang banyak,
keluarga yang dibunuhnya.
Bayangan derita dilihatnya,
di seluruh langit.
Datang lagi panggilan itu.
Baca Juga: 5 Laptop Termahal yang Pernah Diciptakan Manusia, Ada yang Harga 7 Miliar
“Nanjan, datanglah ke Tumbang Anoi.
Kunjungi Tumbang Anoi.
Ziarah ke Tumbang Anoi.
Nanjan terdiam.
“Inikah suaramu, wahai leluhurku? Wahai Damang Batu?” Nanjan bertanya kepada langit.
Nanjan pergi ke Tumbang Anoi.
Sendiri saja.
Ia bawa truk itu.
Truk yang tempo hari mengangkut mayat.
5 jam perjalan darat dari Sampit.
Ziarah ke leluhurnya: Damang Batu.
Baca Juga: Horoskop Percintaan Zodiak Leo 27 Juli 2022: Ada Komplikasi di Dalam Hubungan Anda
Tumbang Anoi, Oh Tumbang Anoi.
Di tempat itu, di tahun 1894, 132 suku Dayak, 1000 orang Dayak, dari seluruh Kalimantan, Malaysia, dan Brunei, berkumpul, selama 3 bulan. (2)
Awalnya perang kayau.
Suku Dayak saling perang.
Saling potong kepala.
Saling memenggal.
Solusi dicari.
Hukum adat yang baru perlu disepakati.
Suku Dayak dari segala penjuru harus hadir.
Dimulailah persiapan.
Rapat akbar terbesar suku Dayak.
Tiga tahun kerja awal.
Baca Juga: Horoskop Percintaan Zodiak Leo 27 Juli 2022: Ada Komplikasi di Dalam Hubungan Anda
Maka tampilah Damang Batu.
Usia 73 tahun.
Ia berkata:
“Untuk persatuan Suku Dayak.
Untuk kejayaan Suku Dayak.
Biarlah aku bekerja.
Biarlah aku menjadi tuan rumah.”
Suara menggelegar di langit.
Arwah dan roh leluhur,
dari ratusan tahun lalu, hadir, menyaksikan rencana agung, rapat akbar suku Dayak.
Damang Batu memimpin penduduk Tumbang Anoi,
membuka ladang,
di beberapa bukit,
sediakan 60 ekor kerbau.
Cari 100 ekor sapi.
Kumpulkan ratusan babi dan ayam.
Dirikan puluhan rumah baru.
Ujar Damang Batu:
“Ayo handai taulan,
ki sanak, saudaraku, bergerak.”
Baca Juga: Bila Menghadapi Mafia Tanah, Adukan Saja ke Sini
“1000 tamu Dayak,
selama tiga bulan,
harus kita kenyangkan.
Mereka harus kita senangkan.”
Langit kembali menggelegar.
Roh leluhur dari ratusan tahun lalu, hadir.
Menyetujui.
Banyak utusan hadir.
Semua tokoh.
Hanya tokoh saja.
Kepala suku.
Atau kepala adat.
Peserta harus kuasai adat Dayak wilayahnya.
Jumpa akbar digelar.
Dimulai 1 Januari 1894.
Berakhir 30 Maret 1894.
Tiga bulan lamanya.
Baca Juga: Gegara Inflasi Pendapatan Iklan Google Kini Tidak Sesuai Harapan
Datanglah itu perjanjian.
Kesepakatan dibuat.
Para leluhur, arwah dan roh suku Dayak dari abad-abad lampaui, hadir di pohon- pohon, hadir di batu dan udara, menyaksikan kesepakatan, memberi persetujuan.
Ini salah satu kesepakatan.
“Semua, wahai semua.
Di manapun kau berada, wahai suku Dayak.
Mulai hari ini,
dalam perjanjian di Tumbang Anoi,
HENTIKAN SALING MENGAYAU!
Semua yang hadir berteriak, koor bersama:
“Hentikan saling mengayau.”
HENTIKAN SALING POTONG KEPALA!
Yang hadir kembali koor bersama, kencang sekali:
Hentikan saling potong kepala.
HENTIKAN SALING MEMBUNUH!
Koor bertalu-talu dari yang hadir:
Baca Juga: Autopsi Ulang Brigadir J, PDFI Minta Masyarakat Jangan Berspekulasi
Hentikan saling membunuh!”
Damang Batu,
Sang tuan rumah acara,
dihormati, lalu dikeramatkan.
Turun temurun.
Nanjan adalah anak dari cucu buyut Damang Batu.
Di makam itu, makam Damang Batu, Nanjan bersimpuh.
Kekuatan magis lain merasukinya.
Telinganya menjadi sangat besar.
Suara dari aneka penjuru bergema, sahut-menyahut, di telinganya:
Baca Juga: Autopsi Ulang Brigadir J Dimulai Hari Ini, Polri Jamin Tim Forensik Tidak Diintervensi
“Nanjan, mengapa kau mengayau?
Mengapa kau memenggal kepala?
Mengapa kau juga bunuh sepupumu sendiri?
Mengapa kau khianati kesepakatan yang kami buat?
Mengapa kau khianati Aku?”
Nanjan terdiam.
Ia mencari sumber suara.
Ia bertanya:
“Damang Batu,
engkaukah itu?”
Rasa salah turun dari langit.
Rasa sesal jatuh dari pohon.
Rasa itu beranak-pianak,
banyak sekali, dalam waktu cepat, dan semua menyelinap, berdiam di hati Nanjan.
Nanjan pun menangis.
Keras sekali.
Badannya terguncang-guncang.
Baca Juga: Horoskop Percintaan Zodiak Taurus 27 Juli 2022: Ada Cinta yang Datang dari Sahabatmu Sendiri
Itulah awal perkara.
15 tahun kemudian.
Kata psikolog, Nanjan menderita sakit mental:
Guilty Complex. (3)
Jenta, putri Nanjan, membangunkannya.
“Ayah, makan dulu.
Jangan lupa obatnya.“
Jenta menatap lelaki tua itu.
Lelah. Tak lagi semangat.
Dipeluknya sang Ayah.
Dibisikannya di telinga.
“Ayah, maafkan dirimu.
Lupakan masa lalu.”
Dari jauh, Jenta kembali menatap lelaki tua itu.
Kosong. Hambar.
“Ayah, ayah,
Apalagi yang bisa kubuat.”
Tak tega hati Jenta.
Air matanya menetes.
Nanjan duduk di kursi roda.
Ia melihat ke depan.
Namun kembali dilihatnya.
Rasa salah itu bergelantungan di plafon kamar.
Rasa sesal itu menempel di lampu bohlam, di jendela, di ubin.***
Juli 2022.
CATATAN
1. Kisah supir truk membawa tumpukan mayat dan gali kubur massal akibat konflik suku dayak dan madura terjadi juga di daerah lain.
https://independensi.com/2021/01/15/kisah-tukang-gali-kubur-kerusuhan-dayak-madura-1997/
2. Damang Batu menjadi tuan rumah pertemuan akbar suku Dayak tahun 1894, yang menghentikan mengayau, saling potong kepala.
https://www.nusapedia.com/2015/07/perjanjian-tumbang-anoi-menelisik.html?m=1
3. Rasa bersalah yang mendalam juga menyebakkan sakit mental
https://voi.id/en/amp/194015/always-haunted-by-guilt-and-fear-of-making-mistakes-beware-of-guilt-complex
#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan kisah konflik primordial di era reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012).