DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Denny JA: Ulfah Mencari Ayah Kandung, Konflik Sampit 2001 Suku Dayak versus Madura

image
Ulfah Mencari Ayah Kandung, Konflik Sampit 2002 Dayak Versus Madura.

Oleh: Denny JA

ORBITINDONESIA – Denny JA selaku pendiri ORBITINDONESIA prihatin terhadap konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan di Indonesia.

Menurut Denny JA, konflik seperti itu mesti dicegah jangan sampai terjadi di hari-hari mendatang di Tanah air ini.

Atas keprihatinannya itu, Denny JA menulis puisi dan berbagai esai tentang isu dan konflik bermuatan primordial di Indonesia. Berikut ini salah satu puisi esai mini karyanya:

Baca Juga: Hasil Liga 1: Kalahkan Barito Putera, Madura United di Puncak Klasemen

“Ulfah Mencari Ayah Kandung”

Bulan terluka di Kota Sampit,

Kotawaringin, Kalimantan Tengah, di suatu malam, tahun 2022.

 

Kisah sedih mengalir dibawa angin, melewati pohon- pohon jambu, melintasi jendela dan pintu rumah.

Angin itu menyelinap masuk ke dalam hati Ulfah.

Terdiam Ulfah.

Pilu datang. Dalam sekali.

 

Ia kaget alang kepalang.

Jantungnya terasa berhenti.

Bom atom meletus tepat di ulu hati.

Walau itu sudah ia duga.

 

Enam bulan lagi, pernikahan terjadi.

“Ampuun,” jeritnya tak bersuara.

“Aku harus bagaimana?”

 

“Maafkan Ayah dan Ibu, Nak.

Sudah lama kami ingin cerita.

Tapi selalu kami tak tega,” pinta Ibu sedih.

 

Dua orang tua, suami istri itu, sudah Ulfah anggap Ayah dan Ibunya sendiri.

Mereka berdua merawatnya.

Sejak pertama.

 

Lanjut Ayah:

“Tapi kita beragama Islam.

Pernikahanmu harus sah.

Yang menikahkanmu,

harus Ayah kandungmu sendiri.

Atau kerabatnya.” (1)

 

“Kami mencintaimu, Nak.

Seperti anak kandung sendiri.

Tapi kami bukan orang tua kandungmu.”  Ibu menyampaikan ini dengan perih.

 

“Tahun 2001,

Ketika konflik suku Madura dan Suku Dayak,

Ayahmu, suamiku, mendengar bocah menangis.”

Di sekelilingmu, semua mayat.

Bergelimpangan.

Mayat orang-orang Madura.”

 

“Kau beruntung.

Kau hanya pingsan saat itu.

Kau dikira mati.”

 

Bom atom yang lebih besar lagi kembali meletus, berkali- kali, meledak di jantung, pecah di tulang sumsum, berdentum di perutnya.

 

“Aku ditemukan di tumpukan mayat? Karena aku menangis? Usiaku satu tahun?” Tanya Ulfah dalam hati.

 

“Ayah dan Ibu kandungmu pasti orang Madura.

Itu kawasan Madura,” kata Ayah.

 

Ibu meneruskan. “Suamiku ragu-ragu membawamu.

Tapi matamu menatap mata suamiku.

Kedua tanganmu menjulur.

Minta digendong.”

 

Kami juga suku Dayak.

Tapi kami tak ikut  mengamuk.”

 

“Kami  belum dikarunia putra- putri.

Suamiku tersihir.

Mungkin dirimu dikirim Tuhan, menjadi anak kami.

untuk kami rawat.”

 

“Suamiku membawamu, diam-diam.

Keluar Sampit, bersembunyi.

Kami selalu ketakutan.

Jika mereka tahu kau orang Madura,

tak hanya dirimu dibunuh.

Kami juga dibunuh.

Kami akan dituduh berkhianat.”

 

Ayah menambahkan:

“Kota Sampit sedang gila.

Arwah purba gentayangan di langit.

Kemarahan dan amuk

menguncang pohon- pohon.”

 

“Akhirnya, kami membawamu,

tinggal di Surabaya.”

 

Setelah damai,

tahun 2004, tiga tahun kemudian,

kita kembali ke Sampit,

tapi di wilayah lain.”

 

Ujar Ibu lagi: “Semua tetangga mengira kau anak kandung kami. Tapi memang bagi kami, kau seperti anak kandung kami sendiri.”

 

Ulfah tak bersuara.

Hanya diam saja.

Separuh napasnya melayang.

 

Malam itu, di Kota Sampit.

Langit diam. Beku.

Memendam air mata,

yang dicoba ditahan- tahan.

 

Seminggu sudah.

Ulfah mengurung diri di kamar.

Entah harus apa.

Semua hambar.

 

Ulfah menjadi pohon lunglai.

Tanpa akar.

 

Berulang-ulang, ia bertanya:

“Siapa aku?

Ya, Allah, penguasa langit dan bumi.

Temukan akarku.

Aku ingin jumpa Ayah kandungku,

Ibu kandungku.

 

Ulfah lahir kembali.

Ia berkelana,

mencari keluarga kandung,

menemukan akar.

 

Ia datangi kawasan Madura yang tersisa di Sampit.

Ia datangi siapa saja,

Ia haus  informasi.

 

“Oh, alam semesta.

Kirimlah dewi pengetahuan.

Di Sampit, tahun 2001, siapakah yang memiliki putri berusia satu tahun, yang tinggal di kawasan Madura, yang mengira putrinya mati?”

 

Sebulan sudah ia mencari.

Banyak ia dengar.

 

Bapak itu lancar menjelaskan.

 

“Kita  orang Madura disamakan dengan  tikus. Dibantai alang kepalang.

Ampuuun, kepala  orang Madura dipotong. Dipancung!” (2).

 

“Hanya pertolongan Allah, saya selamat.

Dua  orangtua saya mati.

Empat adik saya juga mati.

 

Dingin bapak itu bercerita.

Berjarak.

Sudah habis air mata.

 

“Saat itu, usia saya 19 tahun. Saya berasal dari Desa Parit Beringin.

Sekitar 40 km Barat Kota

Sampit.”

 

“Tapi orang Madura juga tinggal di Desa Bagendang Hilir.

Di desa Tanah Runtuh.

Di desa Kuala Kuayan.”

 

“Hampir seluruh penduduk desa itu mati.

Atau sembunyi.

Atau mengungsi.

Ribuan jumlahnya.

Lebih dari 100 ribu.

 

“Saya tinggal sebatang kara.”

 

Bapak yang lain, di tempat lain, juga bercerita.

 

“Saya siap-siap mau mengungsi.

Tapi kapal laut tak cukup.

 

“Saya tanya petugas, pak, kapan lagi kapalnya datang?”

 

“Katanya: TNI Angkatan Laut akan kirim KRI.

Itu kapal perang Republik Indonesia.

Bayangkan, yang membawa pengungsi itu kapal perang.

Tak main-main.”

 

Di tempat lain, ibu itu juga berkisah.

 

“Suku Dayak memberi kami batas waktu.

Sampai selasa besok,

Sampit harus bersih dari orang Madura.

Tak boleh ada orang Madura lagi di sini.

Semua harus pergi.

Atau Mati!

 

“Ihhhh… ngeri.

Saya terancam. Takut. Menangis.”

Aparat berjanji melindungi kami.”

 

Kata petugas: “Suku Dayak sudah dilarang keliling kota membawa senjata.”

 

“Itu ada  pusat Komando Perang Dayak di

Hotel Rama. Kelompok  itu sudah dibubarkan.”

 

“Kami menunggu antrian mengungsi.

Banyak yang sakit.

Anak saya usia 5 tahun.

Mati, entah sakit apa.”

 

Ulfah terdiam.

Sia siakah ini pencarian?

Banyak informasi.

Tapi tiada keterangan soal ayah kandungnya.

 

Berbulan ia mencari.

Berbulan pula tiada jejak.

 

Berbulan ia berkelana.

Berbulan pula tiada petunjuk.

 

Ranting hati patah.

Memintanya berhenti mencari.

 

Tapi harapan datang.

Untuk pertama kalinya.

Sinar cahaya di ujung kegelapan.

 

Ia berjumpa sebuah keluarga.

Wajah ibu itu,

Oh lihatlah wajahnya.

Mirip wajahku.

Lihatlah matanya.

Oh, lihatlah hidungnya.

 

Ibu itu mengaku.

Tahun 2001,

ia punya putri usia setahun.

Tapi ia mengira putrinya mati.

 

“Saya pergi dan suami,

tak bisa membawa apa-apa.

Tak sempat menguburkan putri kami.

Kita semua takut sekali.

Tergesa-gesa.”

 

“Ya Allah, wajahmu mirip aku,” ujar ibu itu.

 

Ia membawa Ulfah menatap cermin. Berdua membandingkan wajah.

 

“Jika putriku hidup, ia sebaya dirimu.” Lanjut ibu itu lagi.

 

“Mungkinkah Ibu ini adalah ibuku?”  Tanya Ulfah dalam hati.

 

Ibu itu memeluk Ulfah.

“Ya Allah, semoga dirimu lah putri kami, yang kami kira mati.”

 

Laki-laki tua itu,

duduk saja.

Ia menatap Ulfah.

Mata laki-laki itu berkaca- kaca.

 

Tanya Ulfah dalam hati lagi:

“Inikah Ayahku?”

 

Laki- laki itu tak banyak kata.

Sejak lima tahun lalu,

ia sakit, tak bisa lagi bicara.

 

Ulfah menjelaskan kepada ibu-bapak itu:

“Kini ada test DNA.

Apakah ibu dan bapak bersedia?

Bersama kita test DNA?

Agar pasti atau tidak, apakah kita berhubungan darah?

Apakah aku anak kandung bapak dan ibu?”

 

Penuh harap, Ulfah menunggu hasil DNA.

 

Di mata Ulfah,

bunga-bunga tumbuh di tiang-tiang listrik.

Air hujan menyiram Kota Sampit.

Oh, sejuknya.

 

“Wow!, akhirnya aku alami test DNA. Memastikan Ayah kandungku.

Ibu kandungku.”

 

Datanglah hasil itu.

Dua bulan Ulfah menunggu.

Kesimpulannya jelas.

Tegas.

 

Dari hasil DNA,

apa daya.

Ulfah bukan anak Ibu itu.

Ulfah bukan anak Ayah itu.

 

Ulfah terdiam.

Terpana.

Terhentak.

 

Malam gelap.

Ulfah menatap langit.

“Di manakah kau menyembunyikan Ayah kandungku, wahai langit?

Aku sudah mencarinya.

Ke utara dan ke selatan.

Sudah kutempuh delapan penjuru angin.”

 

“Aku masih hidup.

Apakah Ayahku juga masih hidup?”

 

Langit tak menjawab.

Hanya sepi. Hening. Pilu.

Misteri menggantung di Kota Sampit.

 

Malam bertambah gelap.

Tapi hati Ulfah lebih gelap lagi. ***

 

Juli 2022

CATATAN.

1. Untuk sah menikah secara Islam, seorang gadis harus dinikahkan oleh walinya, yaitu ayah kandungnya sendiri, atau kerabatnya.

https://www.hukumonline.com/klinik/a/bolehkah-ayah-angkat-menjadi-wali-nikah-lt540945124d4e3

2. Kisah konflik Sampit dari kacamata orang Madura, diambil dari berita ini:

https://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg08441.html

3. Test DNA kini digunakan untuk memastikan hubungan sedarah.

https://www.amazon.com › How-D...How to DNA Test Our Family Relationships

 

#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).

Berita Terkait