Supriyanto Martosuwito: Bapak Anak Bikin Mendidih
Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior
ORBITINDONESIA.COM - Ada ironi yang sedang mengambang di udara politik Indonesia, dan aromanya begitu kuat hingga terasa sampai Singapura dan Afrika Selatan. Ketika mantan Presiden Joko Widodo berangkat menghadiri Bloomberg New Economy Forum di Singapura, dan Gibran Rakabuming Raka terbang ke Johannesburg, Afrika Selatan untuk forum KTT G20, keduanya membawa bukan hanya paspor diplomatik, tapi juga beban sentimen publik yang sedang mendidih.
Dua anak-beranak yang di dalam negeri sedang dibakar kritik justru tampil menyala di forum internasional. Sebuah pemandangan yang membuat kita bertanya: siapa yang sesungguhnya keliru membaca realitas — dunia atau kita sendiri?
Di dalam negeri, Jokowi sedang menjalani masa transisi dari disanjung menjadi disangsikan. Isu ijazah, sentimen dinasti, dan residu politik pasca-pemilu membuatnya seperti duduk di bawah lampu interogasi. Setiap geraknya diperiksa, setiap napasnya ditafsirkan, dan setiap keputusan keluarganya dicurigai.
Namun anehnya, di luar negeri Jokowi tampil bak bintang tamu yang sudah ditunggu-tunggu.
Bloomberg New Economy Forum tidak sekadar mengundangnya; mereka menempatkannya sebagai anggota Advisory Board, memberi panggung kehormatan, dan menjadikannya salah satu wajah Asia yang dianggap penting untuk membayangkan masa depan ekonomi global. Jokowi duduk di sebelah Michael Bloomberg, pendiri forum ekonomi itu.
Sementara di Tanah Air Jokowi diperlakukan seperti terdakwa moral, di Singapura ia diperlakukan sebagai narasumber peradaban. Kontrasnya begitu mencolok hingga terlihat seperti satire yang menulis dirinya sendiri.
Begitu pula Gibran. Di dalam negeri ia diserang sebagai “produk instan”, simbol politik dinasti, dan ikon dari apa pun yang dianggap salah dengan demokrasi kita. Namun begitu duduk di panggung G20, ia disapa dan diperlakukan layaknya pejabat global yang laik berbicara soal masa depan pembangunan.
Indonesia tampaknya adalah negara yang reputasi pemimpinnya meningkat sejalan dengan jarak mereka menjauhi negaranya. Semakin jauh terbang, semakin positif sorotan. Semakin dekat kembali ke Tanah Air, semakin deras kritik menghantam.
Dunia melihat visi, angka, dan pembangunan. Kita melihat isu ijazah, like & dislike politik, serta trauma sejarah yang belum selesai.
Dunia memotret Jokowi sebagai pemimpin yang membawa stabilitas kawasan. Kita justru sibuk mempersoalkan siapa yang ia ajak naik pesawat.
Apakah dunia salah membaca? Tidak juga. Dunia hanya tidak ikut drama domestik kita. Mereka menilai berdasarkan indikator makro, stabilitas, posisi geopolitik, dan rekam pembangunan.
Kita menilai berdasarkan luka lama, rasa kecewa, dan ekspektasi yang berubah. Dunia tidak punya beban emosional terhadap Jokowi dan Gibran; kita punya. Dunia tidak peduli soal ijazah; kita mempersoalkannya setiap minggu. Dunia tidak peduli soal dinasti politik; sebagian elit global bahkan hidup dari dinasti.
Ironi ini penting dicatat karena menunjukkan dua hal. Pertama, reputasi politik tidak pernah tunggal. Ia selalu terpecah antara persepsi domestik dan global, dan keduanya bisa bertolak belakang. Kedua, kritik dalam negeri yang sah, wajar, dan perlu, tidak otomatis mencerminkan reputasi internasional sebuah negara. Indonesia bisa saja gaduh di dalam, tapi stabil di mata dunia. Kita bisa saling menghantam di Twitter, sementara investor asing tetap mencatatkan Indonesia sebagai tujuan yang menarik.
Namun tetap saja ada keganjilan moral ketika dua figur yang sedang menjadi sasaran kritik publik justru melenggang percaya diri di forum-forum dunia.
Ada kesan bahwa panggung global digunakan sebagai semacam ruang bebas gangguan, tempat reputasi bisa dibersihkan sementara. Dunia menyambut, domestik memaki. Dunia menepuk bahu, publik mencibir. Sebuah dualitas yang tidak akan hilang dalam waktu dekat.
Pada akhirnya, mungkin inilah wajah politik Indonesia hari ini: pemimpin dicaci di rumah, dipuji di dunia.
Kita adalah bangsa yang paling keras terhadap diri sendiri dan paling lunak terhadap impresi luar. Tapi barangkali justru di situlah sumber dilema kita. Dunia melihat masa depan; kita masih sibuk mengaudit masa lalu.
Dunia mengundang Jokowi dan Gibran karena kapasitas negara; kita mengecam mereka karena kapasitas pribadi.
Dan pertanyaan akhirnya adalah: sampai kapan dua cerita ini berjalan paralel tanpa pernah bertemu? Itu tugas sejarah — dan pemilih — untuk menjawabnya. ***