Mengenang Deklarasi Balfour: 108 Tahun Sejak Janji Kolonial yang Menentukan
ORBITINDONESIA.COM – Hari ini menandai peringatan 108 tahun Deklarasi Balfour yang kontroversial, yang dikeluarkan pada 2 November 1917 oleh pemerintah Inggris, yang memberikan hak kepada orang Yahudi untuk mendirikan tanah air nasional di Palestina.
Dikeluarkan pada 2 November 1917 oleh Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur James Balfour, deklarasi tersebut berbentuk surat yang ditujukan kepada Lord Walter Rothschild, seorang tokoh terkemuka dalam gerakan Zionis.
Di dalamnya, Inggris menyatakan dukungan untuk pembentukan "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina—tanpa berkonsultasi dengan penduduk asli Arab yang telah tinggal di sana selama berabad-abad.
Para sejarawan secara luas memandang deklarasi tersebut sebagai langkah politik besar pertama Barat menuju pembentukan Negara Israel pada tahun 1948. Deklarasi tersebut dibuat pada puncak Perang Dunia I, ketika Inggris berusaha mengamankan aliansi strategis dan mengonsolidasikan pengaruhnya di Timur Tengah.
Para pemimpin Zionis, khususnya Chaim Weizmann, melobi para pejabat Inggris dengan janji bahwa dukungan Yahudi akan melayani kepentingan Inggris di masa perang dan kekaisaran.
Sebelum deklarasi ini diterbitkan, Inggris memperoleh persetujuan dari Presiden AS Woodrow Wilson, sementara Prancis dan Italia segera mendukung deklarasi tersebut. Pada tahun 1920, Konferensi San Remo menempatkan Palestina di bawah mandat Inggris, yang secara eksplisit menugaskan London untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan deklarasi tersebut.
Mandat Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922 meresmikan kesepakatan ini—mengubah Deklarasi Balfour dari janji Inggris menjadi komitmen Barat yang lebih luas.
Bagi Palestina dan Arab, deklarasi tersebut merupakan pengkhianatan yang mendalam. Inggris sebelumnya telah meyakinkan Sharif Hussein dari Mekkah bahwa kemerdekaan Arab akan diakui setelah perang, tetapi kemudian justru memberikan janji yang bertentangan kepada para pemimpin Zionis.
Untuk meredakan kemarahan yang semakin besar, para pejabat Inggris mengklaim bahwa pemukiman Yahudi tidak akan melanggar kepentingan Arab. Namun, di lapangan, otoritas Inggris secara aktif memfasilitasi imigrasi Yahudi, akuisisi tanah, dan pembentukan lembaga-lembaga Zionis—yang meletakkan dasar bagi negara Israel di masa depan.
Dari kerusuhan Nabi Musa tahun 1920 hingga Pemberontakan Palestina tahun 1936–1939, warga Palestina berulang kali bangkit melawan kekuasaan Inggris dan ekspansi Zionis. Pemberontakan ini mencerminkan meningkatnya rasa perampasan dan marginalisasi politik, seiring dengan perubahan dramatis dalam keseimbangan demografis dan teritorial Palestina di bawah pengawasan Inggris.
Pada saat deklarasi tersebut, populasi Yahudi di Palestina berjumlah sekitar 50.000 jiwa, dibandingkan dengan sekitar 1,65 juta orang Arab. Namun, Deklarasi Balfour hanya memberikan pengakuan politik kepada komunitas Yahudi, membatasi mayoritas penduduk asli pada "hak-hak sipil dan agama" tanpa status nasional atau politik apa pun.
Lebih dari seabad kemudian, Deklarasi Balfour berdiri sebagai simbol nyata ketidakadilan kolonial—sebuah janji kekaisaran yang mengabaikan hak dan keberadaan rakyat Palestina di tanah mereka sendiri.
Bagi Palestina, deklarasi ini menandai awal dari perjuangan selama seabad melawan penggusuran, pendudukan, dan pengingkaran hak menentukan nasib sendiri—sebuah bukti abadi tentang bagaimana kekuatan imperialis mengubah kehidupan tanpa persetujuan atau akuntabilitas.
Seiring dunia memperingati 108 tahun deklarasi ini, Palestina terus menuntut pengakuan atas kesalahan historis yang berakar pada deklarasi yang menentukan tersebut dan keadilan bagi generasi yang telah hidup di bawah konsekuensinya. Warisan Deklarasi Balfour bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan pengingat hidup bahwa perdamaian sejati membutuhkan perlawanan dan perbaikan atas ketidakadilan yang bermula darinya.
Konsekuensi dari kebijakan ini mencapai puncaknya pada tahun 1948, ketika berdirinya Israel menyebabkan Nakba, atau bencana, yang menyebabkan lebih dari 700.000 warga Palestina diusir atau melarikan diri dari rumah mereka.
(Sumber: WAFA) ***