Suroto: Baju Thrifting dan Lemahnya Kedaulatan Ekonomi Negara
Oleh Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
ORBITINDONESIA.COM - Fenomena membanjirnya pakaian bekas impor atau yang dikenal sebagai thrifting kini telah menjadi potret telanjang dari betapa lemahnya kedaulatan ekonomi kita.
Di hampir setiap kota, dari pasar rakyat hingga toko online, pakaian bekas dari luar negeri dijual bebas dengan harga sangat murah. Ironisnya, barang-barang itu masuk bukan lewat jalur resmi, tetapi melalui praktik penyelundupan yang telah berlangsung sistematis dan masif selama bertahun-tahun.
Padahal, aturan negara sangat jelas, impor pakaian bekas itu dilarang. Ketentuan ini tertuang dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 dan PP Nomor 29 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan bidang perdagangan. Artinya, setiap baju bekas impor yang kini beredar adalah barang ilegal.
Tetapi publik dengan mudah dapat melihat betapa aturan itu hanya tertulis di atas kertas, karena di lapangan, pakaian bekas impor dijual terang-terangan di depan mata aparat. Ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi cermin betapa rapuhnya integritas lembaga penegak ekonomi negara.
Barang yang diimpor secara ilegal itu bukan barang kecil yang bisa diselundupkan di saku atau disembunyikan di dalam tas. Ini kontainer-kontainer besar yang masuk melalui pelabuhan dan gudang-gudang logistik yang tentu semua jalurnya terpantau oleh sistem Bea Cukai.
Jika sampai pakaian bekas impor itu bisa membanjiri pasar dalam jumlah besar, berarti aparat negara terutama Bea Cukai tidak bekerja atau bahkan dapat diduga bermain dalam jaringan mafia impor. Selama ini, kalau pun ada penangkapan, yang diburu hanyalah kuli panggul atau pedagang kecil, sementara otak di balik penyelundupan itu aman dan nyaman di balik meja. Ini jelas permainan belaka.
Kalau saya menjadi Menteri Keuangan, langkah pertama yang harus dilakukan bukan sekadar razia simbolik, tetapi memecat Dirjen Bea Cukai yang terbukti tidak mampu menegakkan aturan negara. Setelah itu, lakukan reformasi total pengawasan pelabuhan dan pastikan tidak ada lagi barang thrifting ilegal yang bisa menembus pasar dalam negeri. Negara harus tegas, karena kalau hukum bisa dibeli dan aparat bisa dibodohi, maka rakyat dan pelaku industri lokallah yang menanggung akibatnya.
Masalah impor pakaian bekas bukan hanya soal pelanggaran aturan, tetapi juga soal keruntuhan moral ekonomi bangsa. Produk tekstil dalam negeri kita kini mati pelan-pelan. Industri garmen lokal, yang seharusnya menjadi salah satu penopang utama ekonomi rakyat setelah pangan dan papan, kini sekarat. Ribuan UMKM konveksi gulung tikar karena kalah bersaing dengan pakaian bekas impor yang harganya tak masuk akal.
Namun, penyebabnya bukan hanya banjir barang ilegal, tetapi juga karena Kementerian Perindustrian kita selama ini tidak bekerja. Tidak ada insentif apapun yang menumbuhkan gairah industri garmen nasional.
Tidak ada perlindungan fiskal, tidak ada dukungan riset, tidak ada investasi serius dalam rantai pasok tekstil dari hulu ke hilir. Industri tekstil dalam negeri dibiarkan hidup segan mati tak mau, sementara kementerian sibuk membuat jargon besar tentang hilirisasi yang tak pernah menyentuh akar persoalan produksi rakyat.
Padahal, sektor garmen dan tekstil ini adalah industri strategis. Ia menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, menciptakan nilai tambah tinggi, dan bisa menjadi penyangga ekonomi rakyat jika dikelola dengan visi kedaulatan ekonomi. Tapi karena negara tidak hadir, yang tumbuh justru impor ilegal dan budaya konsumtif. Kita kehilangan arah karena gagal membangun sistem industri yang berkeadilan dan berdaya saing.
Dalam konteks perdagangan, pemerintah juga gagal mengelola potensi thrifting lokal. Seharusnya, penjualan pakaian bekas dalam negeri bisa diatur dan dikembangkan menjadi sektor ekonomi sirkular yang sehat, bukan sekadar lapak barang bekas yang tidak terjamin kebersihan dan keamanannya. Tidak ada sistem kurasi, tidak ada standar higienitas, dan tidak ada sertifikasi produk yang layak edar. Akibatnya, pasar thrifting lokal kita menjadi kumuh dan tidak berdaya, serta kalah oleh arus besar thrifting impor.
Padahal, dengan sedikit intervensi kebijakan, thrifting lokal bisa menjadi model ekonomi hijau yang berkelanjutan. Pemerintah bisa menetapkan sistem kurasi dan sterilisasi yang ketat, menciptakan lapangan kerja baru di sektor pengolahan pakaian bekas, serta menjadikan industri ini bagian dari agenda ekonomi sirkular nasional. Tapi semua itu tidak akan terjadi jika Kementerian Perindustrian dan Perdagangan hanya berfungsi sebagai penjaga etalase kebijakan tanpa keberanian bertindak.
Ke depan, pemerintah harus mengubah total pendekatan terhadap industri tekstil dan perdagangan dalam negeri. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan harus diwajibkan menetapkan sistem penandaan produk nasional.
Setiap produk pakaian, baik impor maupun lokal, harus memiliki cap kandungan lokal yang jelas. Berapa persen bahan baku dalam negeri, tenaga kerja domestik, dan nilai tambah yang dihasilkan di dalam negeri. Label ini bukan sekadar formalitas, tetapi harus menjadi bagian dari Key Performance Indicator (KPI) kementerian terkait.
KPI ini penting agar setiap pejabat publik tidak lagi bekerja dengan logika seremonial, tetapi dengan tolok ukur nyata tentang seberapa jauh kebijakan mereka mendukung ekonomi nasional. Jika muatan lokalnya rendah, kementerian harus bertanggung jawab. Jika industri tekstil terus merosot, menterinya harus dievaluasi. Negara harus kembali hadir bukan sebagai regulator pasif, tetapi sebagai penggerak ekonomi rakyat yang berdaulat.
Pemerintah juga harus berani menertibkan pasar. Barang ilegal tidak bisa dibiarkan dijual bebas seolah-olah itu urusan kecil. Karena sekali kita membiarkan pelanggaran yang kasat mata, berarti kita sedang mengajarkan rakyat bahwa hukum bisa dinegosiasikan. Dan ketika hukum tidak lagi dihormati, maka seluruh tatanan ekonomi akan runtuh.
Kedaulatan ekonomi bukan slogan, melainkan tindakan nyata. Ia dimulai dari keberanian menegakkan aturan dan memperjuangkan industri nasional. Dari keberanian mencopot pejabat yang gagal, hingga keberanian membangun sistem yang berpihak pada produksi rakyat.
Fenomena thrifting seharusnya menjadi cermin untuk melihat betapa rapuhnya fondasi ekonomi kita. Aparat yang bermain, kementerian yang malas, dan rakyat yang akhirnya hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Indonesia tidak akan berdaulat secara ekonomi selama pakaian bekas dari luar negeri masih lebih mudah masuk daripada barang buatan rakyatnya sendiri. Dan kita tidak akan menjadi bangsa besar selama hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sudah saatnya negara berhenti berpura-pura tidak tahu.***