Sesat Pikir Pidato Perpisahan Anies Baswedan: Tanggung Jawab Pejabat Publik di Dunia Vs di Akhirat
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 17 Oktober 2022 12:15 WIB
ORBITINDONESIA - Hari ini, 16 Oktober 2022 masa pemerintahan Gubernur Anies Baswedan berakhir. Dalam pidato perpisahannya,
Anies Baswedan bilang: “Doakan kami dan jadilah saksi bagi kami, saksi yang nanti akan bersama pada saat kami mempertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT sang pemilik segala kekuasaan, yang memberikan kekuasaan kepada siapapun yang ia kehendaki, dan yang mencabut kekuasaan dari siapapun yang ia kehendaki."
Terkesan seolah religius, namun sebagai pejabat publik pidato perpisahan Anies Baswedan seperti ini terus terang tidak profesional dan malah menyesatkan. Di mana tidak profesionalnya dan sesat pikirnya?
Begini. Sebagai pejabat publik yang menerima mandat rakyat untuk selama 5 tahun memimpin dan mengelola segala sumberdaya Jakarta secara profesional (sesuai tuntutan jabatannya), maka pertanggungjawaban profesi (jabatan) itu mestilah terukur dan bisa dipaparkan dengan logis (masuk akal) pada saat ia mengakhiri jabatannya di dunia.
Jadi bukan di akhirat nanti! Ini jelas sesat pikir yang mengaburkan pertanggungjawaban profesionalnya. Alias, tidak profesional sebagai pejabat publik dan menyesatkan (misleading) nalar publik. Maaf ya.
Kita semua paham bahwa, pemerintahan yang baik hanya dapat bergulir lancar dalam suatu negara hukum (ada aturan, koridor kebijakan).
Maka, prinsip pemerintahan yang baik adalah adanya akuntabilitas. Di mana saat mengakhiri pemerintahannya ia harus mempertanggungjawabkan – di dunia – segala tindakannya sebagai pejabat publik.
Baca Juga: Korean Vibes: Konser BTS Yet To Come in Busan secara Gratis, Menjadi Koneser Terakhir
Sebagai pejabat publik, pertanggungjawabannya bisa kita sarikan dalam tiga dimensi. Pertama, pertanggungjawaban politik, kedua pertanggungjawaban ekonomi, dan ketiga pertanggungjawaban hukum.
Pertanggungjawaban politik pemerintah daerah berbentuk laporan penyelenggaraan roda pemerintahan yang wajib dilakukan minimal sekali dalam setahun kepada Pemerintah Pusat, kepada DPRD (wakil rakyat), dan kepada rakyat secara langsung dalam bentuk keterbukaan informasi publik.
Ini sebagai dasar evaluasi.Pertanggungjawaban politik ini berkaitan (bahkan sekaligus) juga dengan pertanggungjawaban ekonomi.
Namun kita tahu pada kenyataannya, dalam rapat paripurna Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P2APBD) kemarin itu Gubernur Anies malah mangkir.
Baca Juga: Jelang Sidang Perdana, Putri Candrawathi Depresi, Ini Kata Pengacaranya
Isi laporannya pun sumir, walau akhirnya diterima oleh semua fraksi di DPRD (entah mengapa?), namun diwarnai penolakan telak oleh Fraksi PSI.
Inisiatif wakil rakyat untuk interpelasi (bertanya formal) kepada Gubernur Anies pun beberapa kali digagalkan lewat (dugaan) konspirasi bersama mafia parlemen Jakarta dengan segala siasatnya.
Pengelolaan anggaran daerah pun gelap gulita. Janji ‘Smart-Budgeting’ ternyata cuma jargon kosong. Proses E-Budgeting sejak awal penganggaran yang sampai satuan harga barang (satuan ketiga) juga pupus.
Kemudian dimensi pertanggungjawabab hukum. Ini adalah pertanggungjawaban atas tindakan (maupun mens-rea, unsur niat jahat) oknum Pemerintah Daerah yang dianggap bisa merugikan masyarakat atau pihak lain.
Baca Juga: Contoh Naskah Pidato Hari Santri Nasional 2022, Cocok untuk Acara Formal atau Nonformal
Pertanggungjawaban hukum (positif) ini mencakup tanggungjawab pribadi (penyalahgunaan wewenang atau maladministrasi). Juga mencakup tanggungjawab jabatan (soal legalitas/keabsahan dalam menggunakan wewenang atau dalam menjalankan prosedur).
Soal hukum ini bisa berujung pada konsekuensi pidana, perdata atau pelanggaran administratif.
Dan, yang terpenting untuk kita ingat-ingat dan pahami bersama, bahwa semua laporan pertanggungjawaban itu diselenggarakannya di dunia, bukan di akhirat nanti.
(Oleh: Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF LKSP, Jakarta.)***