DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ekonomi Rakyat Prabowo Subianto, Kontrak Sosial Baru

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Menyambut Proklamasi 2025

ORBITINDONESIA.COM - Pagi itu di Desa Fatukanutu, Kupang, NTT. Di dapur rumah berdinding anyaman bambu.

Magdalena meniup tungku tanah liat. Api kecil menyala, membakar sisa kayu kering dari kebun belakang.

Di hadapannya, Yohana, anak sulungnya yang duduk di kelas 4 SD, sedang merapikan rambutnya di depan cermin yang separuh buram.

“Ma, hari ini ada susu lagi di sekolah?” tanya Yohana sambil tersenyum malu.

Magdalena mengangguk. “Iya, Nak. Nasi, sayur kelor, telur, dan segelas susu. Semua untukmu.”

Dulu, pagi Yohana sering dimulai hanya dengan segelas air putih atau sepotong ubi rebus.

Perut kosong itu dibawanya hingga bel pulang berbunyi, kadang dengan kepala pusing dan pandangan berkunang.

Tapi sejak program makan bergizi gratis datang, Yohana pulang dengan pipi kemerahan, cerita yang tak habis-habis, dan buku pelajaran yang kini penuh coretan warna.

Bagi Magdalena, ini lebih dari sekadar makanan. Ini adalah napas baru. Bukti bahwa negara—yang dulu hanya hadir sebagai nama di lembar KTP atau papan kantor kecamatan—kini hadir di meja makan anaknya.

Negara hadir dalam protein yang menguatkan langkahnya. Ia hadir dalam gizi yang menyuburkan pikirannya, dan dalam senyum lebar yang setiap sore menyambutnya di ambang pintu.

Negara tidak lagi seperti awan di langit—jauh, samar, hanya sesekali terlihat. Kini ia datang seperti tetangga yang baik hati, mengetuk pintu dengan tangan penuh berkat, dan berkata: “Kita berjalan bersama.” (1)

Tentu sebagai program baru, tak semua kisah Makan Bergizi Gratis  sukses. Banyak kasus uji coba yang gagal. Tapi itu kegagalan di tahap eksekusi. Konsep besar program ini berhasil.

-000-

Abad ke-17 dan ke-18 melahirkan tiga tokoh yang mendefinisikan ulang hubungan rakyat dan negara: Hobbes, Locke, dan Rousseau.

Hobbes melihat negara sebagai Leviathan yang menjaga dari kekacauan. Locke menggarisbawahi hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan.

Rousseau menekankan kehendak umum, di mana keputusan terbaik adalah yang menguntungkan semua.

Indonesia mengartikulasikan kontrak sosialnya sendiri: Pancasila, UUD 1945, dan gotong royong.

Janji itu bukan hanya tertulis di dokumen, tetapi selayaknya terpatri di hati pemimpin: negara akan hadir dalam suka dan duka rakyatnya, melindungi yang lemah, mengangkat yang tertinggal.

Namun, sejarah kita menunjukkan, janji ini kadang tinggal janji. Ada masa-masa negara terasa jauh, lebih sibuk pada elitnya ketimbang rakyatnya.

Karena itu, ketika janji itu dihidupkan kembali melalui kebijakan yang menyentuh kebutuhan paling mendasar, rakyat akan merasakannya bukan di telinga, tetapi di hidup mereka sendiri.

-000-

Presiden Prabowo Subianto memformulasikan serangkaian program yang, bila dijalankan tepat, berpotensi menjadi kontrak sosial generasi baru:

* Makan Bergizi Gratis (Rp121 triliun)

Menargetkan 82 juta anak usia sekolah. Potensi penurunan stunting hingga 3% dalam tiga tahun ke depan.

* Koperasi Desa Merah Putih (Rp200 triliun)

80.081 koperasi untuk memutus rantai tengkulak, memperkuat kedaulatan pangan, dan menghidupkan ekonomi desa.

* 3 Juta Rumah FLPP (Rp41,88 triliun)

Rumah sebagai fondasi martabat keluarga, dengan subsidi cicilan bunga hingga nol persen.

• Sekolah Rakyat & Rehabilitasi Sekolah (Rp31,1 triliun)

Mengubah pendidikan dari privilese menjadi hak universal, termasuk 12 ribu ruang kelas baru di wilayah 3T.

• Lumbung Pangan & Bendungan (Rp43,66 triliun)

Infrastruktur air dan pangan untuk menjaga pasokan dan harga terjangkau di musim paceklik.

Konsepnya gemilang: menyasar perut, rumah, sekolah, dan sawah—empat simpul kehidupan rakyat.

Tapi gemilangnya konsep hanyalah awal. Sisanya bergantung pada eksekusi teknokratis yang rapi dan pengawasan ketat agar dana tak bocor ke kantong yang salah.

-000-

Jika kontrak sosial baru Prabowo berhasil, ini yang akan  kita dengar.

Pak Ahmad di Cilacap tak lagi menjual padi ke tengkulak. Koperasi di desanya membeli dengan harga pantas, membayar tunai, bahkan mencarikan pembeli di kota.

“Dulu, kami petani hanya penonton di pasar. Sekarang kami pemainnya,” ujarnya.

Di pesisir Baubau, Sulawesi Tenggara, nelayan bernama La Ode kini memasarkan hasil tangkapannya lewat koperasi digital desa.

“Harga lebih baik, dan uang langsung masuk ke rekening. Tidak lagi lewat tangan tengkulak,” katanya.

Ibu Ratna di Sumbawa, guru honorer selama 15 tahun, menerima subsidi upah. “Bisa beli buku bacaan baru untuk murid-murid. Rasanya seperti diakui negara,” katanya, menahan haru.

Doni di Maluku melihat sekolahnya punya atap baru, komputer, dan internet. “Dulu, coding itu kata di televisi. Sekarang, tugas sekolah,” ujarnya sambil menunjukkan program sederhana yang ia buat.

Cerita-cerita ini memperlihatkan program bukan sekadar angka di APBN, melainkan denyut yang bergetar di nadi rakyat.

-000-

Apa Peluang dan Batu Sandungan Ekonomi Rakyat Prabowo?

Ekonomi: Program ini countercyclical, menjaga daya beli di tengah tekanan global. Konsumsi rumah tangga—penopang lebih dari separuh PDB—dijaga melalui bansos, subsidi upah, dan stimulus transportasi.

Politik: Keberhasilan program ini akan menentukan legitimasi pemerintahan. Kepercayaan rakyat adalah modal politik yang tak ternilai.

Batu sandungan:

• Kapasitas birokrasi daerah yang timpang: ada daerah yang inovatif, ada yang korup dan lamban.

• Keberlanjutan fiskal: APBN tertekan defisit >Rp600 triliun, utang jatuh tempo Rp800 triliun pada 2025.

• Risiko korupsi: Program besar dengan dana raksasa selalu menggoda aktor-aktor nakal.

• Literasi ekonomi: Tanpa pendampingan, koperasi bisa kembali mati suri.

Pengalaman Brasil (Bolsa Família) dan India (Midday Meal Scheme) membuktikan: konsep hebat hanya berbuah jika eksekusi rapi dan pengawasan ketat di lapangan.

Negara bukan sekadar pengatur. Ia adalah pengasuh kehidupan. Keberhasilan negara diukur dari senyum anak yang kenyang, dari petani yang tidak lagi terjerat hutang, dari guru yang dihargai jerih payahnya.

Pancasila, terutama sila ke-5—Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—menuntut keadilan yang konkret: nasi di piring, atap di kepala, akses setara ke pendidikan.

Kontrak sosial baru Prabowo ini peta menuju kemakmuran inklusif. Tetapi peta tanpa navigator yang piawai akan menyesatkan. Perjalanan tanpa penjaga akan rawan dirampok di tengah jalan.

Tugas negara: memastikan eksekusi teknokratis setingkat orkestra—harmonis, presisi, tanpa nada sumbang.

Tugas rakyat: mengawasi, bersuara, dan menjaga agar dana yang dikucurkan kembali ke mereka, bukan menguap.

-000-

Pengalaman program raskin di Indonesia dan PNPM Mandiri menunjukkan bahwa keberhasilan program berskala masif selalu bergantung pada tiga hal: transparansi real-time, partisipasi aktif warga, dan audit independen yang benar-benar bebas intervensi politik.

Brasil menggunakan sistem Cadastro Único untuk memverifikasi penerima manfaat. Sedangkan India mengadopsi digitalisasi penyaluran melalui Direct Benefit Transfer untuk meminimalkan kebocoran.

Indonesia dapat memadukan keduanya, disertai kewajiban publikasi data penerima dan progres pelaksanaan secara terbuka.

Akibatnya masyarakat bukan sekadar penerima manfaat pasif, melainkan pengawas yang memastikan kontrak sosial benar-benar terwujud di lapangan.

Jika negara terus mengetuk pintu rumah rakyat, dan rakyat membukanya dengan kepercayaan, maka perlahan, rumah demi rumah akan terang.

Dan pada suatu pagi di masa depan, seperti Yohana dan Magdalena di NTT, setiap keluarga bisa berkata: “Negara ini, benar-benar, adalah rumah kita bersama.”

Jika ekonomi rakyat ini berhasil, sejarah akan mencatat Prabowo sebagaimana dunia mengenang Deng Xiaoping yang menumbuhkan ekonomi Tiongkok.

Di balik optimisme ini, sejarah Indonesia menunjukkan jarak antara konsep dan realisasi.

Studi SMERU dan Bank Dunia mencatat penyaluran Raskin sejak 1998 kerap menyimpang: kuota berkurang, harga di atas ketentuan, distribusi tak tepat sasaran.

PNPM Mandiri sejak 2007 berhasil membangun ratusan ribu infrastruktur desa, namun sejumlah kajian Bappenas menyoroti tantangan keberlanjutan ketika pendanaan pusat dihentikan.

Dari sini, kontrak sosial Prabowo perlu mengadopsi transparansi digital, audit independen, dan pelibatan masyarakat. Ini agar program bukan hanya memberi manfaat, tapi juga menumbuhkan kemandirian yang lestari.

Untuk memastikan keberhasilan, pemerintah perlu menetapkan indikator kinerja terukur. Perlu ada laporan berkala penurunan stunting, kenaikan pendapatan desa, dan peningkatan capaian belajar.

Misalnya, mempublikasikan progresnya tiap triwulan secara daring. Transparansi ini membuat rakyat menjadi mitra sejajar, bukan sekadar penerima manfaat.

Dua kunci utama akan menentukan: kemampuan teknokratis para eksekutornya, dan keberanian membersihkan pemerintahan dari korupsi.

Karena kontrak sosial sejati bukanlah sekadar dokumen atau pidato. Ia adalah janji yang ditepati di meja makan rakyat, di ladang mereka, di ruang kelas anak-anak mereka.***

Jakarta,  14 Agustus 2026

Referensi

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/03/14/program-makan-bergizi-gratis-anak-anak-ntt-kini-belajar-tanpa-lapar

2. Amartya Sen, Development as Freedom, Oxford University Press, 1999.

3. Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future, W.W. Norton & Company, 2012.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1F9uxYsUCS/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait