DECEMBER 9, 2022
Kolom

Bali 100 Tahun Nanti, Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

image
Kawasan hutan magrove di Karang Sewu, Kawasan Taman Nasional Bali Barat, Buleleng. (ANTARA)

ORBITINDONESIA.COM - Di antara riuh media sosial dan gemuruh tapak digital, ada kabar Bandar Udara Internasional Bali Utara kalau jadi dibangun akan menyerap 200 ribu tenaga kerja.

Sebuah angka yang tak kecil. Sebuah angka yang membuat mata terbelalak, 200 ribu orang, jantung berdetak lebih cepat, dan angan  menari di antara harap dan cemas.

Anggap saja kabar itu benar.

Baca Juga: I Wayan Suyadnya: Di Masa Mendatang, Perlu Satupena Awards untuk Penulis di Tingkat Daerah

Siapakah mereka? 

Apakah mereka tukang, buruh serabutan yang bisa disulap menjadi teknisi mesin jet?

Apakah mereka petani cengkih yang tiba-tiba saja piawai dalam manajemen rute pesawat?

Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Tentu tidak. Dua ratus ribu tenaga kerja itu, pastilah profesional. Mereka yang paham dunia aviasi, yang bisa membedakan antara apron dan hanggar, antara Boeing dan Airbus.

Mereka tersertifikasi, berpengalaman, yang telah hidup dalam ekosistem bandar udara.

Maka besar kemungkinan, mereka bukan warga Kubutambahan, bukan warga Sawan, bukan dari Tejakula yang saban hari bergelut dengan ladang, bukan pula anak-anak muda Buleleng yang sejak kecil hanya tahu bandara Ngurah Rai, di Bali selatan.

Baca Juga: Tenget dan Surat Edaran Gubernur Bali 07/2025: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Mereka mungkin datang dari Jakarta, Surabaya, Yogya, Lombok. Bahkan bisa jadi dari Dubai, Frankfurt, atau Singapura. Mereka membawa keterampilan, gaya hidup, bahkan keluarga.

Kalau satu pekerja datang dengan pasangan, 200 ribu menjadi 400 ribu. Tambahkan anak-anak mereka, barangkali jadi 600 ribu jiwa.

Dengan demikian Buleleng yang hari ini dihuni sekitar 700 ribu jiwa, kelak akan menjadi entitas demografis baru, penuh wajah baru, penuh suara baru.

Baca Juga: Bali United Dikabarkan Rekrut Pemain Gelandang Asal Belanda Tim Receveur

Dan karena istri atau suami mereka punya KTP, mereka pun punya hak pilih. Pemilihan bupati tak lagi milik orang Buleleng, melainkan milik mereka. Satu suara, satu penentu arah.

Kelak, mungkin saja bupati Buleleng bukan lagi orang Buleleng. Dialeknya bukan Bali Utara, mungkin dialek Betawi atau Jawa.

Lalu di mana mereka tinggal? Tak mungkin tidur di terminal atau membangun tenda di runway. Mereka butuh rumah, butuh air, listrik, internet, sekolah, dan mall.

Baca Juga: Mantan Pemain Liga Jerman Bundesliga Mirza Mustafic Perkuat Bali United

Lahirlah klaster-klaster baru, kota-kota satelit yang menggeser batas.

Kubutambahan yang dulu kering dan senyap akan menjadi ramai dan gemerlap, tapi juga mungkin semakin panas dan bising.

Air akan disedot dari tempat lain. Hutan bisa jadi lapang. Ladang bisa jadi lahan beton. Udara bisa jadi debu.

Baca Juga: “The Wisdom of Bali”: Menyelami Jiwa, Merawat Kesadaran Diri

Dan budaya? Apakah masih bisa menjadi tuan di negerinya sendiri? Atau akan perlahan menjadi hiasan eksotis untuk tamu-tamu baru?

Jangan sebut tentag Satpam dari NTT, customer service dari Jakarta, pilot dari Yogyakarta pramugari dari Bandung. Ini bukan tentang suku atau pulau, tetapi tentang siapa yang siap, dan siapa yang tertinggal.

Maka orang Buleleng, orang Kubutambahan, orang Tejakula yang dari dulu menjaga tanahnya, menjaga desanya, bisa jadi hanya menjadi penonton besi terbang.

Baca Juga: Bali United Gunduli PSIM Yogyakarta dalam Pertandingan Uji Coba

Lalu, untuk siapa kemajuan itu?

Megawati Soekarnoputri benar, berpikirlah 100 tahun ke depan. Tapi jangan hanya tentang angka dan bangunan. Pikirkan pula siapa yang akan tinggal di sana. Siapa yang akan duduk, siapa yang akan berdiri. Siapa yang menjadi tuan, siapa yang menjadi pelayan.

Jangan-jangan, seperti dalam kisah lama, tanahnya melejit, tetapi warganya terbirit-birit. Rumahnya besar, tetapi yang punya ada di luar. Kampungnya gemerlap, tetapi yang tertawa bukan yang lahir dari rahimnya.

Itulah dunia paradoks. Kemajuan menjanjikan harapan, tetapi juga membawa pertanyaan. Siapakah yang akan tinggal di masa depan, jika hari ini kita lupa menjaga tempat berpijak?

Cerita Megawati Soekarnoputri yang sempat merasakan aura Tampak Siring mestinya jadi renungan; burung-burung itu, suara lantuman genta itu, aroma hio dan gemercik air itu, serta sapa riang warganya, mesti dipikirkan sejak sekarang, sejak hari ini? Untuk nanti, untuk seratus tahun nanti, untuk Bali sekayang-kayang.***

Denpasar, 29 Juli 2025

Halaman:

Berita Terkait