DECEMBER 9, 2022
Kolom

Bali 100 Tahun Nanti, Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

image
Kawasan hutan magrove di Karang Sewu, Kawasan Taman Nasional Bali Barat, Buleleng. (ANTARA)

Maka orang Buleleng, orang Kubutambahan, orang Tejakula yang dari dulu menjaga tanahnya, menjaga desanya, bisa jadi hanya menjadi penonton besi terbang.

Lalu, untuk siapa kemajuan itu?

Megawati Soekarnoputri benar, berpikirlah 100 tahun ke depan. Tapi jangan hanya tentang angka dan bangunan. Pikirkan pula siapa yang akan tinggal di sana. Siapa yang akan duduk, siapa yang akan berdiri. Siapa yang menjadi tuan, siapa yang menjadi pelayan.

Baca Juga: I Wayan Suyadnya: Di Masa Mendatang, Perlu Satupena Awards untuk Penulis di Tingkat Daerah

Jangan-jangan, seperti dalam kisah lama, tanahnya melejit, tetapi warganya terbirit-birit. Rumahnya besar, tetapi yang punya ada di luar. Kampungnya gemerlap, tetapi yang tertawa bukan yang lahir dari rahimnya.

Itulah dunia paradoks. Kemajuan menjanjikan harapan, tetapi juga membawa pertanyaan. Siapakah yang akan tinggal di masa depan, jika hari ini kita lupa menjaga tempat berpijak?

Cerita Megawati Soekarnoputri yang sempat merasakan aura Tampak Siring mestinya jadi renungan; burung-burung itu, suara lantuman genta itu, aroma hio dan gemercik air itu, serta sapa riang warganya, mesti dipikirkan sejak sekarang, sejak hari ini? Untuk nanti, untuk seratus tahun nanti, untuk Bali sekayang-kayang.***

Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Denpasar, 29 Juli 2025

Halaman:

Berita Terkait