DECEMBER 9, 2022
Kolom

Politik Pembangunan di Papua yang Tak Pernah Belajar dari Masa Lalu

image
ilustrasi papua di peta Indonesia (Freepik)

Tanpa dua hal itu, kebijakan percepatan hanya akan menjadi proyek politik tahunan. Yang dibangun adalah laporan, bukan relasi. Yang diperkuat adalah angka, bukan rasa memiliki.

Maka, jika Wapres Gibran ingin penugasan ini lebih dari sekadar tugas politik, maka ia perlu hadir bukan sebagai pemimpin, tetapi sebagai pendengar. Ia perlu mengunjungi kampung, bukan hanya kantor. Ia harus bicara dengan komunitas yang belum pernah diajak duduk oleh pejabat pusat.

Percepatan pembangunan tak boleh dimaknai sebagai kecepatan mengeksekusi anggaran, tetapi kemampuan memperlambat ego dan membuka dialog. Papua tidak butuh pemburu target—ia butuh sekutu yang memahami bahwa pembangunan sejati tidak mencetak grafik, tapi memulihkan kepercayaan.

Baca Juga: Orasi Denny JA: Puisi Dari Papua yang Luka

Penugasan Wapres kali ini menjadi ujian: apakah negara bisa keluar dari siklus lama pembangunan dari atas? Atau justru mengulang pola yang gagal—dengan wajah baru yang berbeda, tapi sistem yang sama? Jawaban atas itu hanya bisa dibuktikan jika Jakarta berhenti membayangkan Papua sebagai ruang kosong, dan mulai melihatnya sebagai ruang yang punya kehendak, suara, dan jalan sendiri menuju sejahtera.***

Halaman:
Sumber: ELSAM, Kompas, LIPI, William Dunn (2004). Michael Lipsky (1980)

Berita Terkait