Buku Nawal El Saadawi: "Perempuan di Titik Nol," Jeritan Perlawanan dari Dunia yang Membungkam
- Penulis : Khoirotun Nisak
- Minggu, 29 Juni 2025 18:11 WIB
.jpg)
ORBITINDONESIA.COM - Perempuan di Titik Nol (Woman at Point Zero) karya Nawal El Saadawi bukan sekadar novel—ia adalah kesaksian menggugah dari perempuan yang memilih hidup dengan kepala tegak, bahkan saat dunia terus menundukkannya.
Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Arab tahun 1975, berdasarkan pengalaman nyata Saadawi sebagai psikiater di Penjara Qanatir, Mesir.
Di sanalah ia bertemu Firdaus, seorang narapidana yang dihukum mati karena membunuh seorang germo. Dari sanalah kisah dimulai.
Baca Juga: Buku John Palmeyer, “Ketika Iman Jadi Ancaman: Refleksi Kritis dalam Is Religion Killing Us?”
Firdaus, tokoh utama novel ini, adalah representasi perempuan yang lahir di tengah budaya patriarkal yang menindas, mulai dari kekerasan seksual di masa kecil, pendidikan yang diremehkan, eksploitasi dalam rumah tangga, hingga kerja paksa dan perbudakan seksual.
Tapi Firdaus bukan perempuan yang lemah. Ia memberontak. Ia bangkit dari keterpurukan, melawan sistem yang tak memberi ruang bagi perempuan untuk hidup bermartabat.
Bagian paling menyayat adalah ketika Firdaus berkata: “Saya lebih suka dihukum mati daripada hidup dalam penindasan.” Inilah kekuatan utama buku ini—keberanian Firdaus untuk menolak tunduk, bahkan jika itu berarti kehilangan hidupnya.
Baca Juga: Buku Musdah Mulia, Muslimah Reformis: "Sebuah Seruan Kritis dari Hati Nurani Seorang Perempuan”
Buku Perempuan di Titik Nol tidak hanya terletak pada kisahnya yang tragis dan menyentuh, tetapi juga pada cara Nawal El Saadawi menuliskannya: tajam, puitis, dan tanpa kompromi.
Buku ini tidak berbasa-basi. Ia adalah tamparan keras terhadap budaya, agama, dan sistem sosial yang selama berabad-abad merampas tubuh dan suara perempuan.
Dalam konteks Indonesia, kisah Firdaus seolah menggema dalam kehidupan para buruh migran, perempuan miskin kota, hingga para korban kekerasan seksual yang terus mencari keadilan di sistem hukum yang tak berpihak.
Baca Juga: Buku Soldiers and Kings: Doa Laten di Tapal Batas Kemanusiaan yang Terkoyak
Buku ini juga penting karena menyingkap sisi gelap praktik patriarki yang kadang berlindung di balik moralitas, agama, atau tradisi.
Firdaus yang pernah mencoba hidup “normal” sebagai istri dan pekerja, justru menemukan bahwa prostitusi—seburuk-buruknya posisi sosial dalam pandangan umum—adalah satu-satunya ruang di mana ia memiliki kendali atas tubuhnya.
Ironis, tapi jujur. Di sinilah buku ini menjadi penting bagi gerakan feminis: ia menyuarakan bahwa kebebasan bukanlah ilusi yang bisa ditawarkan oleh sistem yang masih patriarkal.
Namun, ada pula yang mengkritik buku ini terlalu ekstrem atau terlalu menyederhanakan masalah. Tokoh Firdaus digambarkan sebagai “korban total” dari sistem, hingga nyaris tak ada ruang bagi harapan kolektif atau solidaritas perempuan.
Kritik ini valid, tapi justru di situlah letak kekuatan naratifnya: buku ini adalah teriakan perlawanan individual yang mengguncang struktur sosial secara mendasar.
Bagi para pejuang feminisme di Indonesia, Perempuan di Titik Nol adalah bacaan wajib. Ia membongkar ilusi keadilan gender di sistem yang belum berpihak pada perempuan tertindas.
Ia menunjukkan bahwa perjuangan perempuan bukan hanya soal kesetaraan di atas kertas, tapi soal hidup, luka, dan martabat. Firdaus mungkin fiktif, tapi ia hidup dalam tubuh banyak perempuan yang masih terus dibungkam hingga hari ini.***