DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Kebangkitan Fiksi Ilmiah China: Dari Tiga Matahari ke Masa Depan Asia

image
Ilustrasi fiksi ilmiah (Foto: Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM -- Fiksi ilmiah (sci-fi) bukanlah genre baru. Namun dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan kebangkitan genre ini dari arah yang tidak diduga, yaitu China. Jika dahulu fiksi ilmiah lebih banyak dikaitkan dengan para penulis Barat seperti Isaac Asimov, Arthur C. Clarke, atau Ursula K. Le Guin, kini nama Liu Cixin dari China menjadi pusat perhatian global.

Novel "The Three-Body Problem" karya Liu Cixin memenangkan penghargaan Hugo Award dalam kategori novel terbaik pada 2015, yang menandai kali pertama seorang penulis China mendapatkan penghargaan tersebut. Hugo Award merupakan penghargaan paling prestisius untuk genre sci-fi dan fantasi.

Bagi Oni Suryaman, penerjemah versi bahasa Indonesia dari novel tersebut, "The Three-Body Problem" bukan sekadar cerita tentang alien atau sains. "Karya Liu mengangkat pertanyaan besar tentang posisi manusia di alam semesta dan ke mana peradaban kita bergerak," ujarnya kepada Xinhua pada Senin, 23 Juni 2025.

Baca Juga: Jaringan dan Sumber Daya Sains dan Teknologi Global Terdepan Dukung Keberlanjutan Bisnis Danone di Indonesia

Oni, yang juga seorang pengajar matematika, mengaku takjub pada kedalaman ilmiah dan filosofis novel tersebut, yang telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Saat menerjemahkan, dia mengaku "tantangannya banyak, terutama dalam memahami konteks sejarah China seperti Revolusi Kebudayaan dan berbagai konsep ilmiah yang kompleks. Kalau saya salah paham, terjemahannya pun bisa meleset."

Sementara Silvana, seorang konsultan yang juga penikmat fiksi ilmiah, punya pengalaman serupa saat pertama kali membaca karya Liu Cixin. "Saya memang penggemar tema space exploration, jadi 'The Three-Body Problem' dan 'The Wandering Earth' langsung masuk buat saya," ujarnya. Kemenangan Liu di Hugo Award juga mengawali eksplorasi lebih lanjut Silvana dalam dunia sci-fi China.

Namun, baik Oni maupun Silvana mengutarakan hal yang sama, bahwa fiksi ilmiah China bukan hanya Liu Cixin. Ada Hao Jingfang dengan "Folding Beijing", pemenang novelet terbaik Hugo Award 2016, juga Chen Qiufan dengan "Waste Tide", novel distopia yang menggambarkan realitas limbah elektronik dan kapitalisme digital.

Baca Juga: Kemendikbudristek Perkuat Budaya Kompetisi Sehat Lewat Olimpiade Sains Nasional Tingkat SMA/MA 2024

"Saya juga sangat merekomendasikan antologi seperti 'Sinopticon' yang diedit Xueting C. Ni dan 'Broken Stars' yang diterjemahkan oleh Ken Liu. Banyak karya penulis perempuan China yang menawarkan isu sosial dan hubungan interpersonal serta inner conflict yang kuat," tambah Silvana.

Salah satu hal yang juga menarik untuk dibahas adalah apa yang membedakan sci-fi China dari sci-fi Barat di mata penikmatnya.

Menurut Oni, karya fiksi ilmiah China memiliki "rasa Asia" yang khas. "Fiksi ilmiah Barat sekarang banyak membahas isu seperti rasisme, seksisme, dan isu-isu sosial lainnya. Sci-fi China cenderung kembali ke tema-tema klasik, seperti penjelajahan ruang angkasa dan masa depan peradaban."

Baca Juga: Pengusaha Andri Hardian Ungkap Perpaduan Antara Komoditas, Sains, dan Seni Dalam Bisnis Kopi Sangrai

Sedangkan bagi Silvana, dia merasa sci-fi China memiliki latar belakang dan nilai-nilai yang unik karena banyak yang mengambil dari sejarah bangsa, yang sudah berusia ribuan tahun. "Pengaruh mitologi dan budaya sangat kental walau setting-nya modern atau futuristik, bahkan terasa relatable ketika membahas kecemasan urban," imbuhnya.

Halaman:
Sumber: Xinhua

Berita Terkait